Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pola Asuh Anak: Tegas Wajib, Keras Perlu

23 Mei 2012   22:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:54 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketegasan dalam pola asuh anak adalah pilar yang tidak boleh hilang. Jika pilar ini hilang, pola asuh anak sebenarnya berlangsung tanpa road map. Pola asuh akan berjalan tanpa kompas, nilai dan karakter apakah sebenarnya yang hendak ditanamkan kepada anak? Ketika tidak tegas, biasanya orang tua serba permissive.

Ketegasan juga soal otoritas. Jika ketegasan hilang, otoritas orang tua sebenarnya juga hilang. Ketika orotitas hilang, ligitimasi (keabsahan) orang tua dalam mendidik anak sedang digugat, justru oleh anak sendiri. Nah, sangat berbahaya, ketika otoritas hilang, anak akan tampil memimpin kendali dalam keluarga. Ia diam-diam menjadi bos, yang semua perintah dan kemauannya harus dituruti.

Tapi dalam konteks tertentu ketegasan kadang tak cukup. Dibutuhkan cara-cara keras untuk mensupport ketegasan itu. Yang saya maksud keras, tentu cara-cara “refresif” yang bermakna fisik. Entahlah, apakah pendapat saya ini malah bodoh?

Pengalaman Berharga

Hari ini merupakan hukuman terakhir anak pertama saya, 8 tahun, tidak boleh main ke luar rumah dan tidak boleh menonton TV. Hukuman ini berlangsung sejak kemarin setelah sebelumnya didahului oleh hukuman “pukulan ringan” karena kesalahannya.

Kronologinya begini. Lusa (22/5), sekitar jam 2 siang, ketika saya dan istri serta anak kedua istirahat siang, tiba-tiba anak pertama raib dari kamarnya. Ia memang kami biasakan tidur siang sepulang sekolah. Dan baru bisa main sehabis waktu ashar hingga jam 5. Biasanya ia main bersama anak tetangga dan sepupunya. Yang aneh cuma pintu, ia tidak lewat pintu depan, karena pintu tetap dalam kondisi terkunci.

Jam 4 sore saat kami sedang santai di depan rumah, tiba-tiba kami melihat anak membawa mangkok dan piring. Di belakangnya ada 3 temannya membuntuti. Saya panggil anak agar pulang. Tapi ia bilang sambil berlari, mau menaruh mangkok dan piring ke rumah embahnya (ibu saya) yang rumahnya hanya berjerek puluhan meter dari rumah saya.

Tiba di rumah saya interograsi, “tadi mangkok dan piring buat apa?”

Buat tempat kelapa muda ba…”

Kelapa muda? dari mana dapet?”

ngambil punya embah ba…”

bilang gak sama embah?”

Ia geleng kepala. Ia mulai ketakutan, karena soal hak milik kami memang keras. Tak peduli punya kami atau embahnya, kalau tidak bilang kami marah besar. Kami hanya takut anak kami terbiasa ngambil hak orang lain.

Oo…rupanya sudah mulai belajar mencuri ya…”Dengan agak emosi saya mengambil sarung yang biasa saya kenakan. Kemudian saya lipat sarung dalam lipatan kecil dan saya ayunkan sarung itu agak keras ke betisnya. Ya sore itu saya pukul betis anak saya dengan sarung.

Karena adel melakukan dua kesalahan, satu main sebelum waktunya, dan kedua mengambil kelapa muda milik embah tanpa ijin, selama dua hari adel gak boleh main dan gak boleh nonton TV,” kata saya dengan suara keras.

oh ya…tadi ketika main, dari pintu mana ke luar rumah?,” tanya saya

Dengan wajah ketakutan ia menunjuk jendela yang teryata tak terkunci. Lagi-lagi, ia melalui sesuatu yang tak lazim. Keluar rumah melalui jendela. Saya ambil lagi kain sarung dan saya pukulkan lagi ke betisnya untuk kesalahannya ini.

Keras, Perlu?

Bagi saya, dalam hal prinsip keras sekali-kali tidak masalah. Cara-cara refresif seperti orang tua kita dulu mendidik kita, masih perlu dilakukan. Jadi keras di sini bukan tujuan, tetapi alat untuk menegakkan otoritas. Termasuk otoritas dalam melakukan pendidikan karakter terhadap anak, ketika gangguannya berat.

Cara refresif yang ditempuh tentu tidak bisa dilakukan serampangan. Bukan main pukul sekenanya. Saya dalam hal ini saya menggunakan sarung. Memukulnya juga di daerah betis dengan ayunan pukulan yang sedang-sedang saja. Ini memang yang biasa almarhum ayah saya lakukan kepada saya. Jika memukul pasti di daerah betis (he..he..nular). Teryata cara orang tua dulu mendidik kita sangat berpengaruh terhadap kita dalam mendidik anak.

Jadi keras, jika dianggap perlu dan dalam rangka membuat efek jera, kenapa tidak?

Matorsakalangkong

Sumenep, 24 mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun