Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pertemuan Emosional, Dari Rengginang Hingga “Kasir Politik”

25 Februari 2013   05:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:44 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tok…tok…tok…Assalamu’alaikum,” bunyi ketokan itu menggetarkan pintu rumah. Keras sekali. Saya yang baru saja memejamkan mata terpancing kesal.

“Tok…tok…tok…Assalamu’alaikum,” ketukan pintu dan panggilan salam terdengar lagi justru ketika saya belum sempat menjawab salam yang pertama.

Gawat. Ada apa gerangan dengan tamu ini? Begitu keras mengetuk pintu di siang hari ketika tuan rumah sedang istirahat? Dengan langkah berat dan beban pening di kepala akibat gagal tidur, saya beranjak menuju pintu rumah. Jam kira-kira pukul 14.30.

Mohon maaf mas tidur ya? Maaf ganggu mas, saya Cuma mengantar teman kuliah mas dulu dari Jakarta, namanya mas Imam Ma’ruf,” kata anak muda sambil menjulurkan tangan. Salaman.

Teman kuliah? Dimana Sekarang?,” rasa lelah tiba-tiba hilang. Rasa penasaran telah menyuntikkan vitamin hingga tubuh saya kembali bugar.

Itu mas, di sana,” kata anak muda sambil menunjuk arah yang terhalang rumah tetangga.

Saya segera beranjak ke arah yang ditunjuk tadi. Rasa penasaran sama teman lama membuat saya hampir tak memedulikan pemuda yang mengantarnya.

Assalamualaikum?,” sebuah suara memecah rasa penasaran. Antara ingat dan tidak, saya mendekat pada sosok pengucap salam itu.

Waalaikum salam.Kamu rupanya mam?”

Kami berjabat tangan dengan eratnya. 16 tahun tidak pernah bertemu membuat kami terperangah. Seolah tak percaya. Rentang waktu dan tempat saat ini lebur. Batas masa lalu dan sekarang begitu tipisnya. Jarak Sumenep-Jakarta begitu dekatnya. Sungguh satu pertemuan yang tidak terduga.

Teman kuliah saya ini berdua bersama temannya. Di jua kuliah di kampus yang sama meski jauh di bawah angkatan kami. Sementara ada empat orang yang mengantarnya, dua laki-laki [termasuk anak muda yang mengetuk pintu rumah] dan dua perempuan yang semuanya saya kenal baik. Semua tamu saya siang ini berjumlah 6 orang.

Ditemani kopi dan teh serta rengginang dan kerupuk udang khas Madura, cerita masa lalu pun mengalir. Sejak pengalaman pahit, manis, lucu, semua diraciknya dengan masa lalu. Masa-masa penuh kenangan di Kampus. Sebuah kampus dengan bangunan dan arsitektur sederhana di bilangan Ciputat, tetapi mampu menyediakan ruang kreatif bagi mahasiswanya untuk melakukan transaksi wacana dengan sehatnya.

Saat ini? Arsitektur kampus kami sangat indah. Semua jurusan tersedia. Sayangnya, ruang-ruang kreatif dimana mahasiswa bisa melingkar berdiskusi dan bertransaksi wacana di sudut-sudut kampus, seperti cerita teman saya, sudah jarang terlihat.

Perjumpaan saya dengan teman kuliah asal Lampung yang sekarang tinggal di Jakarta ini begitu emosional. Cerita-cerita masa lalu meloncat dan hilir mudik antara masa lalu dan sekarang. Di selingi pembicaraan politik terkini di Jakarta sebagai pusat kekuasaan yang efeknya hinggap hingga desa saya.

Teman saya ini misalnya, menyebut istilah “kasir” menjelang pilpres dan pileg tahun 2014. Istilah kasir dia tambatkan kepada orang yang hilir-mudik Jakarta dan daerah –biasanya underground— yang mencari channel bagi para politisi di Jakarta agar bisa bertemu dengan [calon] basisnya di daerah. Sebagai kasir tentu ia membawa segepok uang yang dia terima dari tuan politisi-pengusaha untuk acara-acara yang akan dilakukan di daerah.

Ketika saya mendengar istilah kasir ini, terus terang saya merinding. Rupanya setiap kepala orang daerah sudah dipatok harganya oleh para politisi. Termasuk kasir yang pasti mencari untung. Tetapi maaf ya, teman saya ini bukan kasir. Dia ke Madura melakukan tugas kantornya, melakukan audit proyek kementerian di Sumenep.

Hampir dua jam saya dan teman kuliah ini bernostalgia. Rasanya panggung saat itu hanya milik kami. Lima orang yang menemaninya hanya pemain figuran. Bukan karena kami tidak mau memedulikannya. Tapa boleh buat, jika bertemu sahabat lama –apalagi karib sewaktu kuliah—cerita-cerita masa lalu lebih mendominasi, seuatu yang mungkin tidak penting bagi orang yang di sekitarnya, yang tidak mengalaminya.

Kemarin [24/2] pukul 13.00 WIB, sahabat saya dan temannya kembali saya undang ke rumah sebelum meninggalkan Sumenep ke Jakarta. Kali ini saya menjamunya dengan ikan bandeng bakar yang saya beli dari petani garam. Diselingi ngobrol tak terasa waktu menunjuk pukul 15.00 WIB. Teman saya pamit karena harus mengejar penerbangan pukul 21.30 dari Bandara Juanda, Surabaya. Sementara perjalanan Sumenep-Bandara bisa 5 jam. Tapi ketika saya tanya sama supir mobil yang ia carter selama di Sumenep, dia siap ngantar ke Bandara hanya 3,5 jam. Hebat.

Sampai ketemu lagi kawan!

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 25 Pebruari 2013


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun