Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingkah Keuangan Masuk Kurikulum?

5 Juli 2012   13:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:16 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Baru saja saya membuka kanal eduksi di Kompas.com. Ada satu berita yang menurut saya penting untuk ditanggapi yaitu permintaan BI untuk memasukkan keuangan dalam kurikulum SMP hingga PT. ini sebagai tindak lanjut dari pencanangan hari Rabu sebagai Hari Menabung Nasional oleh Wapres Budiono.

Dalam berita itu juga disebutkan bahwa BI sudah mengadakan perjanjian dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan pengetahuan keuangan dalam kurikulum sekolah mulai dari SMP hingga Perguruan Tinggi.

Sebagai seorang guru, saya menyambut gerakan yang mencanangkan hari Rabu sebagai Hari Menabung Nasional. Ini –jika sukses—akan memberikan pengalaman baik bagi siswa untuk mengelola keuangan secara bijak. Gerakan ini juga bisa menjadi “wacana tandingan” bagi kecenderungan siswa/mahasiswa yang boros karena jebakan gaya hidup.

Tentu gerakan nasional ini membutuhkan pranata yang kuat agar bisa operasional. Rupanya inilah yang ditangkap BI dengan mengajukan gagasan untuk memasukkan kurikulum ke sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan, melalui Deputi Gubernurnya, Muliaman D Hadad, BI merencanakan setiap rabu bank-bank akan melakukan kampanye ke sekolah-sekolah dengan menawarkan produk keuangan.

Kurikulum Sudah Gemuk

Sungguh sebagai guru kadang saya bangga sekaligus geli memahami segenap usulan terhadap dunia pendidikan. Bangga karena pendidikan –meski di dalamnya juga menyimpan banyak masalah—masih dipercaya untuk menyelesaikan keruwetan republic ini. tetapi saya juga geli karena pendidikan dianggap seperti “tong sampah” yang menjadi tempat pembuangan keruwetan, sementara institusi di luar pendidikan justru makin ruwet saja.

Taruhlah untuk ikut menyelesaikan korupsi yang sudah parah di republic ini, maka muncul gagasan untuk memasukkan pendidikan anti korupsi ke sekolah. Soal lingkungan yang kian rusak akibat keserakahan, maka pendidikan lingkungan dipandang perlu masuk sekolah. Belum lagi soal yang lain, misalnya gender, lalu lintas, dan sekarang soal keuangan.

Tahukah bahwa kurikulum kita sudah sedemikian gemuknya? Bayangkan, untuk tingkat SMA saja ada sekitar 13 bidang study yang harus dipelajari dalam 1 minggu. Belum muatan local dan segala kegiatan ekstrakurikuler yang harus diikuti oleh siswa. Dan sekarang masih mau ditambah dengan “kurikulum titipan” sebagaimana yang digagas oleh BI?

Sekali lagi saya tidak ingin mengatakan bahwa keuangan tida penting. Tetapi memasukkannya dalam kurikulum –apalagi menjadi kurikulum tersendiri—hanya akan menyebabkan beban siswa semakin berat. Kalau pun terpaksa masuk, mungkin materi keuangan diintegrasikan saja dalam bidang studi ekonomi. Tetapi itu pun “bermasalah”, karena buku akan ganti lagi. Penerbit buku pelajaran biasanya paling pinter menangkap peluang ini, dan penerbit yang paling untung setiap kurikulum baru digagas

Soal Menabung dan Bank Masuk Sekolah

Saya mengapreasi gagasan pemerintah yang menetapkan hari Rabu sebagai Hari Menabung Nasional. Ini adalah gerakan yang patut didukung agar anak muda [pelajar dan mahasiswa] memeliki pengalaman langsung merencanakan keuangan dan memikirkan masa depan. Tidak seperti kecenderungan sekarang, pelajar dan mahasiswa terjerembab dalam gaya hidup yang menjadikan mereka boros dalam soal keuangan.

Cuma soal bank masuk sekolah, barangkali di setiap daerah tidak harus seragam. Apalagi yang mau masuk bank-bank besar. Saya mengusulkan agar di daerah yang memiliki lembaga keuangan mikro –misalnya BMT atau sejenis—sanngat penting dilibatkan. Malah lembaga inilah yang sebaiknya dicari. Masalahnya sederhana, jika lembaga keuangan mikro local yang dilibatkan, distribusi keuangan tetap aka berputar di daerah itu. Beda dengan bank konvensional yang besar-besar, mungkin uangnya akan ditarik ke kota-kota besar.

Saya menangkap gagasan ini tak lepas dari kepentingan-kepentingan bank-bank besar untuk mencari nasabah baru melalui lembaga-lembaga pendidikan. Bayangkan dalam satu kabupaten saja, berapa yang akan terkumpul tabungan dari siswa? Tentu sangat besar bukan?

Saya menyambut gerakan menabung dan pentingnya siswa/mahasiswa memiliki keterampilan merencanakan keuangan untuk masa depan mereka. Tetapi saya tidak sepakat jika keuangan masuk kurikulum dan masuknya bank-bank besar ke sekolah. Kalau pun harus masuk kurikulum barangkali diintegrasikan saja dalam bidang study yang serumpun. Sementara lembaga yang dijadikan mitra sekolah dalam soal tabungan sebaiknya memanfaatkan lembaga keuangan mikro local.

Matorsakalangkong

Pulau Garam, 5 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun