Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Midun Melihat "Alien"

6 Desember 2010   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:57 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_76578" align="aligncenter" width="566" caption="http://picasaweb.google.com"][/caption]

Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana, lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.

[caption id="attachment_76581" align="aligncenter" width="320" caption="http://picasaweb.google"]

12916521771597004168
12916521771597004168
[/caption] Sebelum diterima di sekolah negeri, Syarkawi belajar di sebuah madrasah swasta. Sorenya masih nambah di madrasah diniyah. Belum lagi malam hari, ia dikirim kepada seorang guru ngaji tua yang sudah lebih setengah abad istiqamah mengajarkan alif, ba, ta kepada anak-anak desa. Di sela-sela kesibukannya, syarkawi toh masih sempat membantu pak midun di sawahnya.

1291651437718603688
1291651437718603688

Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.

[caption id="attachment_76577" align="aligncenter" width="281" caption="http://picasaweb.google.com"]

12916515301850994735
12916515301850994735
[/caption]

Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII.      Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?) Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.

Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti ya cangkul, nguwan (menggembala) sapi atau kambing, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, gaya pakaian, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun, kebersamaan juga dilepas.

Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.

[caption id="attachment_76584" align="aligncenter" width="599" caption="http://picasaweb.google"]

12916528561520092149
12916528561520092149
[/caption]

Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun