[caption id="attachment_158707" align="aligncenter" width="544" caption="diunduh dari google"][/caption]
Bermula dari kegemaran anak saya, masih kelas 2 MI, yang suka menulis, ada kesulitan bagi saya mempublikasikan tulisannya ketika semakin banyak. Ia memang sering merengek agar tulisannya dikirim ke “Kompas Minggu”. Saya sendiri belum berani. Di samping karena tulisannya kurang layak, saya hawatir kalau berkali-kali ngirim dan ternyata tidak dimuat-muat juga, justru akan menjadikan mentalnya down.
Awalnya saya akan membuatkan akun kompasiana. Saya urungkan karena dalam pengalaman saya tak satupun saya menemukan akun milik anak-anak seusianya. Kasihan juga jika ia berinteraksi di kompasiana dengan kompasianer yang usianya jauh di atasnya.
Pilihan lain, tulisannya akan saya publish di blog pribadi saya. Itu juga saya urungkan karena makin tidak efektif. Di samping karena blog pribadi saya sepi pengunjung, tulisan anak saya pun akan tenggelam oleh isu-isu orang dewasa yang biasa sayatulis. Tadinya, akan saya bikinkan blog pribadi untuknya. ini juga gagal. Biasa, ngurus blog pribadi ternyata lebih males ketimbang nulis kompasiana yang pembacanya sudah tersedia.
Atas dasar itu, mungkin ada baiknya kompasiana mempertimbangkan membuat kanal khusus anak-anak. Ya, semacam fiksiana. Di kompasiana anak itu, kompasianer yang kebetulan mempunyai anak yang gemar menulis, hobbinya bisa tersalurkan seperti bapak-ibunya. Jadi lengkap, kompasiana bisa menjadi milik keluarga.
Keuntungan lain, jika ada kompasiana anak, orang tua bisa langsung mengawasi dan mendampingi anaknya ketika main internet. Apalagi jika kebetulan online, bapak/ibu dan anaknya mempublish tulisan secara bersama. membaca komentar secara bersama. Dan membalas komentar sambil berdiskusi bersama. Wah…seru sekali. Tentu ini akan membuat keakraban baru dalam keluarga. Lagi, Secara tidak langsung sebenarnya sejak dini kita menanamkan kepada untuk berinternet secara sehat. Nah, mantap bukan?
Ada lagi yang lebih seru. Melalui kompasiana anak, tidak sekedar kompasinertua-tua saja yang saling kenal. Makna perkenalan semakin meluas, sesama anak kompasianer juga melakukan sharing and connecting. Siapa tahu, saat mereka dewasa kelak, justru ada yang berjodoh?
Terakhir, narsis sedikit, ijinkan saya “melampirkan” cerpen yang dibuat oleh anak pertama saya, Adhel (8 tahun), yang saat ini masih duduk di kelas 2 MI.
Terseret Ombak
Pada hari minggu syamilpergi berliburke pantai. Syamil berlibur bersama ayah, ibu, dan adiknya. Syamil pergi ke sana naik mobil. Tiba di sana Syamil melihat banyak orang-orang, terutama ada sahabatnya Andi.
“ Hai, Andi .”
“ Hai Syamil “
“ Lagi ngapain ,” tanya syamil
“ main.”
“Main apa”
“Main pasir,” jawab Andi.
“Boleh aku ikutan An?”
“Boleh,” jawab Andi.
Mereka bermain pasir berduaan.Tiba-tiba Syamil melihat seekor kepiting berlari ketengah laut.Syamil mengajak andi mengejar kepiting itu. Andi tidak mau. Syamil ingin mengejar kepiting itu tetapi andi melarangnya. Syamil tetap mengejar kepiting itu ke tengah laut. Tiba-tiba ombak besar datang. Syamil terseret ombak. Andi berteriak memanggil orang-orangyang ada di pantai. Mereka mendengar teriakan itu. Kemudian mereka berkerumun di sana.
“Pak..bu..tolong teman saya yang terseret ombak.”
Bapak-bapak segera menolong Syamil. Syamil dibawa ke tepi pantai. Tak lama kemudian Syamil sadarkan diri.
Dan hari semakin sore. Syamil bersama adik, ayah, dan ibu segera pulang.
[caption id="attachment_158708" align="aligncenter" width="235" caption="adhel"]
Matorsakalangkong
Sumenep, 27 januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H