[caption id="attachment_153641" align="aligncenter" width="334" caption="kompasiana.com"][/caption]
Beberapa hari yang lalu ketika saya sedang asyik buka blog pribadi saya, tiba-tiba anak pertama saya ikut nimbrung. Tak seperti biasanya, kali ini ia nampak serius mengamati judul-judul tulisan saya dalam blog. Hingga ia sampai pada sebuah judul tulisan “Anakku Rangking 10 dari 12 Orang, Hebat Bukan?”— yang juga saya publish di Kompasiana—matanya menatap nanar. Tak lama kemudian ia sesenggukan, menangis.
Saya kaget. Tapi saya bisa menebak. Ia pasti malu. Karena tulisan tersebut memang menceritakan pengalamannya berada di rangking 10 dari 12 siswa waktu kelassatu MI tahun lalu. Tiba-tiba ia mengajukan tuntutuan.
“Baba harus menghapus tulisan itu,” katanya marah.
“ Nak..bagi baba tak penting kamu dapat rangking berapa. Yang penting bagi baba kamu rajin belajar,” kata saya. Ucapan saya ini jauh sebelumnya memang sering saya ungkapkan sama anak saya. saya memang tidak pernah menuntutnya untuk dapat rangking kelas. Saya hanya mendorongnya untuk mencintai buku dan rajin membaca.
Tapi anak saya tetap menuntut, tulisan itu harus dihapus. Meski sebenarnya saya tahu alasannya, tapi saya coba mengajukan pertanyaan kenapa ia menuntutnya dihapus.
“Adel malu ba..,” katanya sambil tetap menangis. Saya merasakan kepedihannya. Ada perasaan bersalah kenapa saya sampai menulis mengalaman pahitnya. Pada hal maksud saya menulis pengalamannya itu sebagai bahan refleksi bagi saya. Jika anak gagal, itu bukan sepenuhnya kesalahan anak. Orang tua sebenarnyapenyumbang besar bagi kegagalan anak.
“Adel mau baba menghapusnya?”
Ia pun mengangguk. Dengan disaksikannya langsung kemudian saya menghapus tulisan saya itu dari blog pribadi saya. Sementara yang saya publish di Kompasiana denga judul yang sama tak diketahuinya. Tetapi saya pun berniat menghapusnya.
“Baba minta maaf ya. Baba mengaku salah,” kata saya lagi. Meski ego saya sebagai orang tua terkadang muncul untuk tidak meminta maaf, tapi saya paksakan diri melakukannya. Saya tentu tidak boleh hanya pinter berkhotbah mengajari anak untuk lapang dada meminta maaf jika salah, sementara saya ketika melakukan kesalahan tetap keras kepala merasa benar sendiri. Tentu ini tidak adil.
Dari peristiwa ini saya bisa mengambil hikmah. Sebaiknya apapun yang kita tulis tentang anak, kita tak perlu sungkan meminta persetujuannya.Meski mungkin baik bagi kita, tapi belum tentu baik dalam pandangan anak.
matorsakalangkong
Sumenep, 3 Januari 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI