Lepas akad nikah diucapkan seperti melepas beban besar yang menindih tubuh. Plong. Dalam Pengalaman orang menikah, akad nikah merupakan peristiwa yang sungguh berat. Mengucapkan akad di depan orang banyak butuh nyali besar. Bukan persoalan hafal dan tidak di sini. Tapi persoalan mental. saya sering menyaksikan orang yang menikah harus mengulang ijab-qabul-nya hingga 2-3 kali. Masalahnya ya… karena grogi itu.
Lepas akad nikah, pasangan juga seperti di lempar ke dunia baru. Ke dunia antah berantah. Ada perbedaan yang sangat jelas antara kehidupan sebelum menikah dengan kehidupan menikah. Salah satu yang pasti dihadapi, apa yang oleh masyarakat kita disebut bulan madu. Entahlah siapa yang menemukan istilah ini. Itu tidak penting(?) Yang lebih penting, setiap pasangan yang memasuki fase ini seperti menemukan kebahagiaan tiada tara. Tenang setenang-tenangnya.
Apa di balik kekuatan bulan madu? Pertama, dalam sudut pandang agama, pasangan sah untuk melakukan ….[tutup mata, malu disebut] layaknya orang menikah. Sebelum menikah dengan tegas dan keras agama mengutuknya. Karena sudah sah, perasaan takut dosa hilang. Tentu…orang menikah salah satu alasannya karena dorongan religiusitas tadi.
Kedua, pada masa bulan madu, pasangan lebur dalam satu jiwa. Tak ada ego. Tak ada konflik. tak ada “aku”. Tak ada “engkau”. Yang ada adalah “kita”. Makanya, dunia indah. Serasa milik berdua. Dunia begitu damai, karena gencatan senjata bisa dikendalikan. Meski di sisi lain, persilatan tak bosan-bosan dilakukan, tentu pakai senjata.
Ketiga,inilah fase libidonal manusia dituntaskan. Naluri manusia yang menginginkan hidup pasangan menemukan katarsisnya. Menemukan pelampiasannya. Maaf pelampiasan di sini tidak dalam makna pertemuan secara lahir. Karena pertemuan itu didasari cinta, kasih sayang, rindu, dan entah apalagi yang begitu sulit dilukiskan.
6 Bulan…
Fase bulan madu –satu kondisi memperoleh ketenangan tiada tara—berlangsung dalam hitungan bulan. Almarhum kakak saya ketika dulu saya masih remaja bilang, “….cari ilmu dulu…jangan menikah muda…kalau cuma mikir enaknya, paling cuma 6 bulan…” katanya. Beliau bilang seperti itu biar saya tidak mikir menikah usia muda. Bagi beliau saya harus belajar, belajar, dan belajar.
Saya waktu itu memang tidak percaya. Maklum tidak mengalami. Tapi teman-teman saya yang menikah juga bilang serupa. Akhirnya…ketika saya menikah, pendapat kakak dan teman-teman ternyata benar. Bulan madu ada batasnya. Bulan madu hanya berlangsung dalam hitungan bulan.
Kenapa dalam hitungan bulan? Karena setelah beberapa bulan sudah nampak ego masing-masing pasangan. Mulai muncul perbedaan. Mulai menyeruak konflik. Mulai terbuka bahwa karakter masing-masing berbeda. Misal, sang istri mulai sadar,…suami saya ternyata pemarah…” Sang suami mulai tahu, “oo…istri saya rupanya pencemburu”. Seterusnya begitu, satu persatu karakter masing-masing diketahui dan mulai terbuka. Konfilk terus mengiringi, dan bulan madu tiba di batasnya.
Lalu…Bagaimana?
Di sinilah pasangan diuji untuk bisa mengelola perbedaan. Mengelola konfliknya. Kadang-kadang tahu-tahun pertama menjadi ujian berat bagi pasangan, apakah pernikahannya selamat atau kandas.
Memang betul dalam hitungan bulan, naluri seksual akan mengalami titik jenuh. Beda ketika bulan madu, pasangan seperti tiada bosan-bosannya. Mengurung terus dalam kamar. Seiring dengan usia pernikahan, tugas masing-masing pasangan tidak cuma urusan seks. Banyak hal yang perlu jelas perannya.
Maka, jika ada kasih sayang dan cinta pada pasangan, tulus diberikan selepas bulan madu, bahkan seterusnya…seiring dengan usia pernikahan, itulah kasih sayang dan cinta sejati. Kasih sayang dan cinta terhadap pasangan paska bulan madu dan seterusnya itu, lahir bukan karena dipengaruhi oleh “nafsu murahan”atau sekedar obyek seks. Ia lahir dari kesadaran, bahwa menikah melampaui dari sekedar urusan seks. Meski itu satu diantaranya.Jadi bagi pasangan yang sampai tahap ini, enaknya menikah tidak dihitung dengan bulan.
Menjadi kewajiban kita untuk merawat kasih sayang dan cinta sejati ini pada pasangan kita. Karena menikah bukan sekedar untuk 6 bulan atau 6 tahun…tapi untuk selamanya. Kalau perlu cinta dan kasih sayang itu dibawa ke akhirat, abadi bersama pasangan kita saat ini. semoga.
Matorsakalangkong
Sumenep, 18 april 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H