[caption id="attachment_86729" align="aligncenter" width="640" caption="Dino Patti Djalal pada peluncuran buku "][/caption]
Kemarin (21/1) Kompas.com menurunkan berita tentang pembagian buku gratis SBY ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah (silahkan dibaca). Buku gratis karya Dino Patti Djalal ini berjudul “HARUS BISA, Seni Memimpin ala SBY”. Lumayan tebal, sekitar 434 halaman. Pembagian buku gratis ini mengundang pro-kontra. Banyak yang berpendapat, pembagian buku ini memiliki “hidden agenda”. Bukan sekedar murni ingin mengenalkan presiden Indonesia kepada para siswa.
Madrasah dimana saya mengabdikan diri sebenarnya sudah lama menerima buku ini. Kalau tidak salah bulan Oktober 2008. Buku dikirim via pos. Jumlahnya ada 4. Dalam ketentuannya, 1 untuk kepala sekolah, dan 3 sisanya diminta ditaruh di perpustakaan. Nampaknya intruksi dari atas melalui surat itu dipatuhi sama madrasah kami. Satu sudah dibawa kepala sekolah ke rumahnya, 3 buku lainnya ditaruh di perpustakaan.
Jika melihat tahun dikirimnya (2008), sangat jelas makna dibalik pembagian buku gratis itu. Pesannya kira-kira, “tahun 2009 yang baca buku ini pilih SBY, ya!”. Bayangkan,jika seluruh sekolah SMA/MA saja seluruh Indonesia dikirimi 4 buku, setidaknya sebagian yang baca pasti memilih SBY. La..buktinya SBY menang kan di Pemilu 2009? Berarti mereka ikut menyumbang suara. Kalau sekarang, buku gratis itu dibagikan lagi, tentu tujuannya sama meski dengan kepentingan berbeda.
Sebagai catatan harian buku ini memang enak dibaca. Dino –ketika menulis sebagai staf khusus presiden bidang hubungan Internasional/jubir presiden—mampu menuangkan secara menarik apa yang dia lihat, dengar, rasakan selama mendampingi SBY dalam menjalankan tugas kenegaraan. Mulai persoalan berat sampai ringan ditulis oleh Dino dengan gaya yang menarik dan mengalir. Terus terang saya suka gaya kepenulisan Dino.
Thema besar buku ini mengupas kepemimpinan SBY. Dalam semua bab, dino menggunakan kata “memimpin”. Secara berurutan dibuku dengan bab memimpin dalam krisis, memimpin dalam perubahan, memimpin rakyat dan menghadapi tantangan, memimpin tim dan membuat keputusan, memimpin di pentas dunia, dan diakhiri dengan judul bab memimpin diri sendiri.
Dino sangat cermat menampilkan kepemimpian SBY dalam judul buku. Ia memandang gaya kepemimpinan SBY sebagai “seni”. Kata ini mungkin dipilih oleh Dino untuk menjelaskan kepemimpinan SBY yang inspiratif, kreatif, tidak kaku, tetapi tetap dalam koridor sistem yang membingkainya. Ringkasnya, di mata Dino kepemimpinan SBY sempurna.
Kekaguman Dino terhadap kepemimpinan SBY saya pikir tidak wajar. Sebagai orang dalam, malah di lingkaran terdalam, Dino tentu tidak bisa lepas dari posisinya. Subyektivitas yang berlebihan dan tumpulnya kritik Dino tak bisa dihindari. Ya..dalam buku ini Dino menampilkan SBY tanpa kritik.
Saya ambil contoh satu tulisan Dino dengan judul “akhlak dan moralitas seorang pemimpin”. Dino mengutip pendapat SBY bahwa:
“yang penting dalam politik adalah akhlak. Politik yang berakhlak berarti ‘melakukan sesuatu dengan tujuan baik, i’tikad baik, dan dengan hati yang bersih.’ Kalau pemimpin sudah kehilangan akhlak, maka ia akan buya dalam membuat keputusan. Ia akan cenderung mengambil keputusan yang keliru dan tidak bermoral. Seorang pemimpin, yang memiliki kekuasaan tidak berarti harus kehilangan kesantunannya. Tenggang rasa, menghormati orang lain, dan menahan ucapan yang tidak baik juga cerminan dari akhlak.”
Tak ada yang salah dari pernyataan yang sangat normatif di atas. Cuma persoalannya, akhlak bagi pejabat publik menurut saya tidak cukup menjadi masalah personal. Tapi perlu ditransformasikan ke dalam sistem, ke dalam kebijakan. Dengan kata lain, akhlak harus menjadi ruh dari seluruh kebijakan yang sejatinya diorientasikan kepada rakyat yang dipimpinnya. Ada kaidah fiqh “Tasharruf al-imam 'ala al-raiyyah manuth bi al-mashlahah (Seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber pada kepentingan mereka)".
Saya tak perlu mengajukan fakta, apakah konsep politik yang berakhlak sebagaimana dikutip Dino sudah menjadi roh dalam kebijakan SBY? Biarlah pembaca sendiri yang menyimpulkan. Saya cuma ingin curhat di sini bahwa di daerah saya, mencari sesuap nasi begitu sulitnya, di tengah melonjaknya kenaikan harga hampir semua kebutuhan pokok yang tak kunjung turun-turun.
Terahir, iseng-iseng saya tanya sama penjaga perpus madrasah, apa banyak siswa yang meminjam buku gratis ini? Jawabnya, selama 6 bulan terahir dari 350 siswa hanya dua siswa yang meminjam. Nah, bagi yang kontra terhadap pembagian buku gratis SBY ke sekolah-sekolah, tak perlu terlalu keras bersuara.
Matorsakalangkong
Sumenep, 23 januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H