Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengenal Wajah Orang Bahagia

29 Januari 2012   16:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:19 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1327854642198854966

[caption id="attachment_159020" align="aligncenter" width="448" caption="diunduh dari google"][/caption]

Siapa yang tidak ingin hidup bahagia? Tak ada. Semua orang mencarinya. Meski tidak semua mendapatkannya.

Boleh saja orang mengatakan bahagia. Atau menampilkan kebahagian melalui simbol-simbol yang mudah dilihat oleh mata. Seolah kebahagian dengan sendirinya akan memantul ke dalam melalui simbol-simbol itu.

Dan orang lain yang berada di sekelilingnya terkesima dan mengafirmasi bahwa ia bahagia. Nah, di sinilah kebahagian mengalami posisi terbalik, seolah datang oleh pengakuan dari luar. sementara, di dalam sendiri rapuh.

Pada hal kebahagian bukan sekedar ucapan, symbol, atau sekedar pengakuan dari luar. Kebahagiaan menghunjam jauh ke dalam. Ke relung hati. Ke dasar bathin. ia bersemayam jauh di dalam, tetapi memancar ke semua jejaring tubuh, sehingga prilaku tubuh juga memancarkan kebahagian. Dengan demikian, kebahagian itu bukan ucapan itu sendiri, manis sekalipun. Bukan symbol itu sendiri, segagah apapun.

Saya menyaksikan orang-orang bahagia memiliki tingkat ketenangan yang tinggi. Keseimbangan hidup yang tertata. Semua itu memancar dalam wajah, sikap, dan prilakunya. Ia telah menempatkan posisinya yang tepat dalam relasinya dengan Tuhan, sesama, dan alam. Meski tubuhnya tidak dilapisi oleh symbol-simbol megah.

Saya memiliki seorang teman yang masih muda. Ia guru di madrasah yang sama dengan saya. Ketika ia menjemur pakaian, ia mendapati beberapa ‘semut merah besar’ (dalam bahasa Madura, kaleng) yang gigitannya dahsyat, di tempat penjemurannya. Apa yang dilakukannya? Dengan penuh kasih sayang, ia mengambil satu persatu semut itu pelan-pelan dan memindahkannya ke tempat yang aman. Baru setelah itu ia menjemur pakaiannya.

Ada seorang tokoh masyarakat di daerah saya. Jika pohon pisangnya berbuah dan sudah matang tetapi keburu dimakan burung, ia urung memanennya. Seluruh helai pisangnya direlakan untuk dimakan burung. Tokoh ini juga sering membantu orang dan rendah hati.

Ada lagi cerita saudara jauh saya. Ia dikenal suka bersilaturrahim. Mulai saudara dekat hingga jauh, tua-muda, kaya-miskin, bahkan yang pernah membencinya sekalipun ia kunjungi. Karena kegemarannya ini, saya menjulukinya sebagai ‘tokoh silaturrahim’.

Dari tiga orang yang mungkin dianggap memiliki prilaku ‘aneh’ itu, saya menemukan satu hal yang sama. mereka kokoh secara spiritual. Dari spiritualitasnya inilah memancar kasih sayang kepada sesama dan alam. Dengan kata lain, hubungan horizontalnya ditambatkan pada dasar yang kokoh dan diletakkan di atas hubungannya yang bersifat vertikal . Dan saya melihatnya, 3 orang ini, wajahnya teduh dan memancarkan kebahagiaan.

Lepas dari masalah spiritualitasnya, saya menemukan beberapa kunci kebahagiaan belajar dari pengalaman orang-orang yang sebagian saya ceritakan tadi.

Pertama, sering-seringlah bersyukur. Syukur adalah bentuk penerimaan bathin terhadap karunia Yang Maha Kuasa. Sekecil apapun. Saya masih ingat ucapan seorang guru, dalam persoalan rizki seringlah menoleh kepada orang yang lebih kurang ketimbang kita, dan jangan memandang orang yanglebih dari kita. Cara ini ternyata mujarab untuk menumbuhkan rasa syukur.

Kedua, seringlah bersilaturrahim. Terutama kepada saudara kita sendiri. Dalam sebuah hadits, bersilaturrahim itu bisa memperpanjang umur dan membuka pintu rizki. Dalam pengalaman saya, setidaknya, silaturrahim memberikan pencerahan bathin yang luar biasa. Saya menemukan ketenangan tak terkira ketika usai bersilaturrahim. Lebih-lebih kepada saudara/teman yang pernah bertikai/tidak sepaham.

Ketiga, seringlah berbagi. Ketulusan berbagi akan melepaskan belenggu ego dan jebakan materi, yang akan menjadikan bebas darinya. Bagaimana kita akan bahagia, jika dalam benak kita ego dan jebakan materi selalu menjajah? Selama ego dan materi membebani hidup kita, sulit kita menjadi manusia yang benar-benar bebas. Karena hakikatnya kita terjajah.

Keempat, jika berbagi dahulukan yang betul-betul membutuhkan. Misalnya anak yatim, fakir-miskin, para janda yang tidak mampu (maaf, jangan ditafsirkan jadi istri ke…), dan jangan lupa juga tetangga yang tidak mampu.

Kelima, teruslah berkarya. Karya adalah wujud dari endapan segenap ego, emosi dan pikiranyang ketika kita menuntaskannya, kebahagiaan datang sebagai imbalannya. Tentu saja ketika berkarya kita mengupayakan sepenuh hati.

Keenam, yakinlah kepada Tuhan. Yakinlah bahwa berdoa kepada-Nya memiliki kekuatan. Kesombongan diri, seolah semua hasil jerih payah kita, hanya menjadikan kita kerdil. Bagaimana tidak? Kita akan selalu menganggap sekitar kita sebagai ancaman. Nah, tak mungkin bukan, dalam kondisi seperti itu, kebahagiaan mendekat?

Semoga bermanfaat !!!

Matorsakalangkong

Sumenep, 29 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun