[caption id="attachment_139778" align="aligncenter" width="563" caption="masyudi sedang menerima penghargaan dari Gubernur Jatim, bapak Soekarwo"][/caption]
Isu korupsi yang melibatkan politisi muda membuat masa depan bangsa ini seakan gelap. Yang muda diduga sama dengan generasi pendahulunya, tak memberi terang bagi bangsa ini. Yang muda tak juga menampakkan karakternya, malah rontok diterpa badai pemberhalaan uang. Tuntutan gaya hidup telah menjadikannya terjebak pada praktik culas, korupsi.
Di luar politisi, anak muda juga diterpa badai. Semangat nasionalisme diduga mulai rapuh. Kepedulian sosialnya makin melembek. Secara umum, etika yang seharusnya menggarami prilaku kesehariaanya tergerus oleh zaman. Pertanyaannya, jika anak muda tidak bisa lagi diharapkan, kepada siapa lagi bangsa ini dipertaruhkan?
Tak perlu pesimis. Pesimisme hakekatnya mengubur kita sebelum mati. Sebenarnya banyak anak muda tanpa gebyar da tanpa panggung yang bekerja membangun bangsa ini. Berjibaku mengasah asa, mengukuhkan kepeduliannya di tingkat akar. Salah satunya, orang ini.
Namanya Masyudi, masih muda, usianya sekarang baru 35 tahun. Ia adalah contoh anak muda yang secara total mengabdikan diri untuk kepentingan banyak orang. Ikut berjibaku mengentaskan ekonomi rakyat miskin di pedesaan.
Melihat persoalan kemiskinan yang melanda masyarakatnya, ia tidak tahan. Menyaksikan masyarakat miskin menjadi korban dari praktek rentener, ia memberontak. Berdasar atas survey kecil-kecilan yang dia lakukan, ia tercengang. Praktek rentener benar-benar menghisap habis rakyat kecil.
Menurutnta, di satu bank harian saja, misalnya, korbannya mencapai 3.311 orang. Mereka harus mengembalikan pinjaman dengan bunga sampai 50% . Hitungannya seperti ini, jika mereka meminjam uang 100 ribu, mereka dikasih 90 ribu. Sementara yang 10 ribu digunakan untuk uang administrasi. Pelunasannya diangsur setiap hari dengan membayar 5 ribu/hari selama satu bulan. Jadi,mereka pinjam 90 ribu tapi harus bayar 160 ribu.
Sebagai solusinya, berdua bersama temannya, ia pada tahun 2004 mendirikan Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah Baitul Mal Wat Tanwil Nuansa Ummat (KJKS BMT NU) di kecamatan Gapura, Sumenep. Dari dedikasinya yang total, BMT yang dulu hanya bermodal 400 ratus ribu rupiah, saat ini assetnya sudah 4,2 M. Dulu hanya hanya 3 karyawan, sekarang sudah 14 orang.
Membangun BMT yang bisa dipercaya butuh kerja keras. Selama 2 tahun, 2004-2006, ia bersama temannya hampir tiap malam door to door ke rumah masyarakat di kecamatan Gapura untuk mengajaknya menjadi nasabah BMT. Awalnya, banyak orang pesimis. Tapi berkat kerja kerasnya sejak tahun 2007 perkembangan BMT terus menunjukkan grafik menaik.
Saat ini, di sampingnya assetnya sudah 4,2 milyar, BMT yang ia pimpin memperoleh penghargaan sebagai juara I terbaik se Jawa Timur untuk katagori KJKS (2010), dan peringkat 2 untuk katagori KJK dan Syariah se Jawa Timur. Dan Masyudi sendiri pada 2010 memperoleh sertifikat kompetensi manager dari Badan Sertifikasi Profesi KJK (BSP KJK).
Uang Bukan Berhala
[caption id="attachment_139780" align="aligncenter" width="522" caption="yudi (depan berbaju hitam nomer dua dari kiri) bersama karyawan BMT "][/caption] Yudi, demikian biasanya dia dipanggil, adalah lulusan perguruan tinggi agama di sebuah pesantren salafiah syafi’iyah Situbondo di Jawa Timur. Pengalaman menjadi manager koperasi di pesantren ternyata sangat bermanfaat ketika ia pulang dan kembali ke masyarakatnya. Meski latar belakangnya sebagai sarjana agama, ia memiliki keterampilan managerial yang ia praktekkan saat mendirikan BMT.
Meski saat ini asset BMT sudah meliaran, ia tetap sederhana. Sebagai manager BMT ia bisa meminta gaji lebih, apalagi ia sebagai perintis. Tetapi tahukah Anda berapa gaji yang ia minta? Meski posisinya saat ini sebagai manager, ia meminta gaji di bawah 1 juta/bulan.
Di luar aktivitasnya sebagai manager, ia menyempatkan diri membagi ilmunya sebagai guru ekonomi dan akuntansi di madrasah yang sama dengan saya. Prinspip hidupnya adalah mengabdi, menebar manfaat kepada orang lain.
Suatu sore iapernah main ke rumah saya. sebagai seorang sahabat, ia curhat sama saya, ketika ia bingung karena ditawari oleh bapak bupati untuk menjadi direktur BPRS, sebuah bank milik pemerintah daerah. Di BPRS ini tentu ia akan mendapatkan gaji jauh lebih gede ketimbang BMT. Informasi yang saya dengar gajinya 7,5 juta/bulan belum termasuk fasilitas lainnya. Uang sebesar itu, hidup di sebuah desa, tentu sangat besar.
Tapi, bagaimana keputusan Yudi? Dengan kesederhanaannya, ia tetap memilih BMT. Ia dengan halus menolak permintaan bupati yang tiga kali mengubunginya. Ia beralasan, BMT masih lebih membutuhkan ketimbang BPRS. Bank pemerintah itu bisa mencari orang lain yang lebih baik darinya.
Ia sekarang lebih kerasan bersama 1. 215 pedagang kecil dan 14 kelompok simpan pinjam yang didampinginya. Meski bekerja di lembaga keuangan, ia tidak terbawa arus. Ia tidak menjadikan uang sebagai berhala. Sangat kontras dengan anak muda yang demam panggung dan gebyar yang menutupi anak muda seperti yudi ini.
Selamat Hari Sumpah(i) Pemuda
Matorsakalangkong
Sumenep, 27 oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H