[caption id="attachment_190487" align="aligncenter" width="448" caption="salah satu beritanya di harian lokal [dok pribadi"]"][/caption]
Hampir sepekan belakangan ini, media local –elektronik maupun cetak—memberitakan tentang ditolaknya Moh. Azhari mendaftar sebagai calon polisi. Siswa yang baru lulus dari Madrasah Aliyah Pesantren Annuqayah Sumenep ini, urung mewujudkan cita-citanya menjadi polisi karena alasan “administrative”.
Diperlakukan diskriminatif, bersama guru dan orang tuanya Azhari mengadu ke Dewan PendidikanSumenep (DPS). Di DPS Azhari menyatakan kekecewaannya karena ditolak oleh panitia di Polres Sumenep. Alasan ditolak, menurutnya, karena ia berasal dari pesantren yang tak tercantum di brosur penerimaan. Dalam brosur penerimaan cuma ada 4 pesantren yang tertera yaitu Gontor Ponorogo, Al-Amien Prenduan Sumenep, Mathlabul Ulum Sumenep, dan Ponpes Modern Al-Barokah Nganjuk [Radar Madura, 21 Juni 2012].
Tetapi dalam brosur juga ada persyaratan ijazah, minimal SMA/MA jurusan IPA/IPS atau SMK yang sesuai dengan kompetensi dan tugas pokok Polri. Di sinilah keanehannya. Azhari betul lulusan Pesantren yang tidak tercantum di brosur. Tapi Azhari memiliki ijazah MA yang diakui setara dalam UU pendidikan dengan SMA. Saya tahu sendiri, Pesantren Annuqayah dimana Azhari mondok memiliki lembaga pendidikan di semua tingkatan. Sejak dari TK hingga Perguruan Tinggi. Bahkan pondok ini juga mengelola SMA dan SMK. Pondok Pesantren ini adalah pesantren tertua di Sumenep dengan umur lebih satu abad. Jumlah santri semuanya lebih 5.000 santri.
Saya kemarin bertemu dengan teman saya, Suhaidi RB M.Ag, salah satu anggota DPS Sumenep yang ikut audiensi dengan pihak Polres. Menurutnya, dalam audensi itu DPS mengajukan keberatan atas perlakuan diskriminatif Polres terhadap lulusan pesantren yang nyata-nyata memiliki ijazah MA. Suhaidi mengatakan, telah terjadi salah tafsir
Tetapi pihak Kapolres, menurut Suhaidi, tetap berpendapat bahwa hanya siswa yang dari 4 pondok pesantren –sebagaimana tertera dalam brosur—yang diterima. Sedangkan Azhari berasal dari pesantren yang tidak tercatat dalam brosur. Ketika DPS memberi alasan bahwa Azhari memiliki ijazah MA, tetap polres melihat Azhari lulusan pesantren Annuqayah yang tidak tercantum dalam brosur, tanpa mengindahkan fakta bahwa Azhari memiliki ijazah MA 2 Annuqayah yang setara dengan SMA.
Pihak Polres tetap menyatakan tindakan menolak Azhari benar, karena sesuai dengan petunjuk Polda. Petunjuk Polda itu tertera dalam telegram No. Tel ST/1361/VI/2012/RO SDM tanggal 05/06/2012 yang mengatur bahwa di luar pesantren yang 4 di atas, tidak diperbolehkan melamar anggota polisi [Radar, 22 Juni 2012]
Sebelum menulis berita ini saya kembali menelpon Suhaidi. Menurutnya, polres salah tafsir memahami isi telegram –juga brosur—tentang persyaratan jadi polisi itu. Kalau 4 pesantren di atas disebut secara khusus dalam telegram itu, sangat wajar. Karena pesantren itu mengembangkan kurikulum sendiri tetapi diakui oleh Kemendikbud. Sementara banyak juga pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formalnya berafiliasi ke Kemenag seperti MI, MTs, MA yang juga diakui setara dengan SD, SMP dan SMA. Di sinilah salah tafsirnya. Polres Sumenep hanya melihat Azahri dari pesantren tanpa melihat ijazah MA-nya.
Terus terang, secara pribadi saya –yang juga lulusan pesantren— kaget , di zaman seperti ini masih ada institusi yang diskriminatif terhadap lulusan pesantren. Tetapi Air sudah tumpah. Azhari pun tak bisa mewujudkan cita-citanya, karena ketika masalah ini ramai diberitakan media, pendaftaran menjadi calon polisi sudah ditutup. Miris. Semoga ke depan peristiwa seperti ini tidak terulang kembali.
Matorsakalangkong
Sumenep, 25 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H