[caption id="attachment_170533" align="aligncenter" width="400" caption="gambar : radar-bogor.co.id"][/caption]
Pagi tadi ketika naik motor bersama istri dan anak, saya sempat kesal dan mengeluh ketiba tiba di jalan berlubang dan rusak. Kiran-kira 200 meteran, jalan berkubang mulai sejak sisi kiri, kadang di tengah,kadang di sisi kanan. Akibat jalan rusak itu saya harus memelankan laju motor, pada hal kami harus segera tiba di rumah.
“Jalan kayak gini yang bikin kita gak nyampek-nyampek ,“ keluh saya sama istri
“ Justru jalan kayak gini yang mengajari kita sabar…” jawab istri singkat.
Saya diam. Tapi pikiran saya terus berjalan mengimbangi laju kendaraan yang pelan-pelan berjalan. Saya makin yakin dengan apa yang disebut perspektif atau sudut pandang. Hal sama ketika dilihat dari perspektif beda menjadikan tindakan juga berbeda. Bagi saya jalan berlubang menjadi beban, bagi istri justru dinikmati sebagai cara melatih kesabaran.
Kita dan Ketergesaan
Jika mencermati sekeliling kita, manusia saat ini ditandai oleh ketergesaan. Suatu sikap hidup serba terburu-buru dalam merampungkan sesuatu. Ingin cepat tuntas. Dan ingin cepat selesai. Ketika selesai manusia ditunggu pekerjaan lain yang kembali memerlukan sikap ketergesaan. Di sini manusia seperti dipenjara oleh siklus ketergesaan. Dari satu ketergesaan ke ketergesaan yang lain.
Saya kadang dipaksa berperang dalam bathin ketika suatu saat harus berhenti di lampu merah, terutama di pinggiran kota yang tidak ramai, sendirian. Ketika yang lain menerobos, saya berhenti sendiri. Kadang banyak yang menoleh kepada saya. mereka pikir alangkah bodohnya saya, sepi saja masih mau berhenti. Kadang saya malu juga. Ketiga ego ketidaksabaran menang, sayaakhirnya menerobos. Pada hal hakekatnya saya kalah. Saya tak mampu menaklukkan diri sendiri.
Saya jadi ingat petuah orang tua yang sering menasehati, jika makan nasi panas di sebuah piring, tidak mungkin kita langsung menyendok nasi di tengah. Pasti kita memulainya dari pinggir piring. Petuah ini sebenarnya mengajarkan kesabaran. Sebaliknya, kita diminta untuk menghindar dari ketergesaan.
Bagaimana Menyisatinya?
Ketika saya naik motor dalam suatu perjalanan jauh, pikiran saya sudah membayangkan harus segera tiba di tempat tujuan. Tak heran jika pikiran saya pasti sibuk, karena ketergesaan saya akan muncul. Sebaliknya, kesabaran saya sedang mengalami ujian. Karena ketergesaan acap kali tidak bisa disandingkan dengan kesabaran.
Bagaimana saya menyiasatinya? Saya ambil ilmu yang saya dengar dipraktekkan tentara ketika harus lari 15 kali putaran lapangan bola. Tentara ketika berlari kenapa kuat, karena ia tidak langsung berpikir target lari 15 kali putaran selesai. Ia akan berpikir, “ah.. sebentar lagi saya akan menyelesaikan 20 langkah.” Jika tiba 20 langkah, ia segera membuat target baru, “sebentar lagi 25 langkah akan saya sudahi.” Begitu seterusnya hingga satu putaran, dua putaran, hingga berhasil 15 kali putaran.
Nah cara ini kadang saya coba. Ternyata saya bisa lebih tenang dan sabar menjalankannya. Ketika motor saya sudah di jalan raya, saya segera bilang, “200 meter lagi saya akan tiba di pasar.” Tiba di pasar saya pasang target baru, “400 meter lagi saya akan tiba di masjid sana…” begitu seterusnya saya perpendek target, hingga perjalanan 15 km tidak terasa lama menjalaninya.
Kembali ke Lubang
Sering kali manusia pelupa. Suatu saat bisa menjalaninya, tetapi di saat yang lain malah melanggarnya. Sebenarnya jika kita mau, jika perspektif kita rubah, sesuatu yang dianggap masalah oleh kita, bisa menjadi peluang.Tergantung cara kita memandangnya.
Nah..untuk bisa konsisten menjalaninya, kehadiran orang lain menjadi sangat penting maknanya. Itulah makna penting keluarga, tetangga, sahabat untuk saling menguatkan dalam kesabaran. Dalam kebaikan.
Kembali ke soal jalan berlubang, sangat banyak orang bertabrakan karena berebut jalan nyaman. Belum “lubang” dalam makna luas, seluas kehidupan yang kita jalani, memang selalu menuntut kita untuk sabar. Untuk sampai kepada kesabaran, sumber kehidupan untuk bahagia dan tenang, bukankah harus dimulai dari hal kecil? Untung, istri saya sudah mengingatkan.
Tetapi mengatakan seperti ini bukan berarti saya menyuruh pemerintah membiarkan infrastruktur yang rusak, dengan alasan demi melatih kesabaran rakyatnya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 24 maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H