Kemarin (1/2) ketika “terpaksa” menjadi juri lomba karya tulis ilmiah (LKTI) SMA/MA se Madura yang bertema “Go Green School” yang diselenggarakan MA 1 Putri Annuqayah, ada seorang peserta yang menulis tentang punahnya spesies dalam karya ilmiahnya. Peserta ini dalam presentasinya tidak bisa menyembunyikan dukanya ketika bicara spisies yang dulu sangat bertebaran, utamanya di malam hari. Apa itu? Kunang-kunang.
Mendengar kunang-kunang disebut saya langsung ingat pada anak yang saat ini duduk di sekolah dasar. Dulu, ketika anak saya masih di TK, saya suka bercerita atau mendongeng. Kadang-kadang anak sering bertanya tentang sesuatu yang ia tidak tahu, entah dari hasil baca atau dari hasil mendengar.
Saya kebingungan ketika tiba-tiba ia bertanya, “binatang kunang-kunang itu kayak apa sih ba…” pertanyaan ini muncul karena di daerah saya saat ini begitu sulitnya menemukan binatang kecil itu. Pada hal dulu, begitu mudahnya ditemui. Apalagi rumah saya memang dekat sawah, salah satu tempat kunang-kunang memain-mainkan sinarnya di malam hari.
Pertanyaan anak ini membawa saya lagi ke masa lalu. Saat kecil, saya bersama teman sebaya, selalu bermain di sawah. Sawah malam hari begitu indah. Ribuan kunang-kunang menghadirkan kerlip cahaya sambil berterbangan di sawah tanpa lelah. Apalagi dulu ketika saya kecil memang belum ada listrik. Semakin berkilau saja cahaya kunang-kunang. Kontras dengan sekitarnya yang gelap gulita.
Kadang kenakalan khas anak-anak muncul. Bersama teman saya tangkap kunang-kunang itu, dan menaruhnya di dalam plastic putih transparan. Dari dekat, meski saya yakin kunang-kunang tidak senang, saya menikmati cahayanya. Di malam hari. Di dalam plastic. Di genggaman tangan saya.
Dan sekarang? Spesies ini tiba-tiba lenyap. Malam hari hadir tanpa kerlip. Kelenyapan spesies ini mejadikan saya bodoh ketika anak dengan tiba-tiba menodongkan sebuah pertanyaan, “binatang kunang-kunang itu kayak apa sih ba…?”
Meski saya menjawab saya sadar tak akan mampu memuaskan rasa ingin tahunya. Saya jadi ingat ketika ada orang bertanya tentang pohon pada seorang bijak. Ia tidak menjelaskan. Ia membawa orang itu ke sebuah pohon dan meletakkan tangannya di batang pohon. Ia tidak ingin orang itu sekedar tahu, tapi mengalami.
Masih beruntung, beberapa bulan kemudian, ketika malam hari kami sekeluarga bercengkrama di halaman rumah, saya melihat seekor kunang-kunang melintas terbang tanpa arah. Sendiri dan tanpa teman. Saya langsung bilang sama anak, “ itu nak..kunang-kunang yang dulu kamu tanyakan.”
Saya melihat anak mendongakkan wajahnya mengikuti kunang-kunang yang terbang tanpa arah. Saya melihat ada kepuasan di wajahnya. Ia sekarang tidak cuma tahu, tapi mengalami. Melihat langsung spesies langka di daerah yang justru dulu adalah sarangnya. Untung ia tidak bertanya, kenapa punah? Pasti saya tambah bodoh saja untuk mengulasnya.
Tentang Kunang-Kunang
Sebelum menulis tadi saya sempatkan browsing. Mencari tahu tentang kunang-kunang. Dan inilah sekilas tentangnya.
Kunang-kunang adalah sejenis serangga yang mengerlipkan cahaya di malam hari. Kerlip cahaya hasil "sinar dingin" yang tidak mengandung ultraviolet maupun sinar inframerah dan memiliki panjang gelombang 510 sampai 670 nanometer, dengan warna merah pucat, kuning, atau hijau, dengan efisiensi sinar sampai 96%.
Terdapat lebih dari 2000 spesies kunang-kunang di seluruh dunia. biasanya ditemukan di daerah empat musim dan tropis di seluruh dunia. Banyak sepesies ini yang ditemukan di rawa atau hutan yang basah dimana tersedia banyak persediaan makanan untuk larvanya. Makanya daerah saya yang dikepung sawah, dulu begitu banyak kunang-kunang ditemukan.
Yang baru saya tahu, ternyata yang memiliki sayap dan bisa terbang hanya kunang-kunang jantan. Sementara yang betina menunggu di rerumputan. Nah tentang kerlip cahaya, itu semacam kode untuk memulai perkawinan. Biasanya sang pejantan yang berkelip dahulu kemudian disusul sang betina. Jika masa kawin selesai, kunang-kunang betina biasanya berhenti berkedip. Lucu ya?
Di samping sebagai kode ‘sakral’ yang saya yakin hanya bisa dipahami oleh mereka sendiri, kerlip cahaya ternyata juga berfungsi sebagai kode peringatan terhadap musuh. Musuh umumnya enggan memangsa kunang-kunang karena tubuhnya ternyata pahit. Kira-kira tidak pantas bagi pemangsa yang biasa suka kuliner.
Itulah sekilas tentang spesies kunang-kunang yang membuat saya bodoh ketika ditodong pertanyaan oleh anak pertama. Setidaknya saya punya bekal jika ditanya oleh anak kedua, yang baru berusia 18 bulan. Meski saya yakin akan lebih sulit menjelaskannya, karena kunang-kunang mungkin tak tersisa seiring dengan bertambahnya umur saya. Kenapa punah? Entahlah, saya makin bodoh saja.
Matorsakalangkong
Sumenep, 2 pebruari 2012
Sumber bacaan : di sini dan di sini
Gambar: seluruhnya diunduh dari google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H