Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kenangan bersama Wartawan Kompas

13 Mei 2011   04:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_107284" align="aligncenter" width="448" caption="diunduh dari google"][/caption] Sewaktu saya baru lulus dari Madrasah Aliyah, kakak saya yang sudah almarhum setahun yang lalu menerima seorang wartawan Kompas, namanya Nugroho F Yudho. Mas Nugroho ditemani Bapak Mohammad Bakir, guru saya sewaktu Aliyah. Bapak Bakir mungkin semacam guide lah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1989, saat rezim orde baru berkuasa. Bertemu dengan wartawan harian nasional, mendorong saya nimbrung. Pikiran saya melayang, siapa tahu nanti saya juga jadi wartawan. Atau foto saya terpampang di kompas he..he.. Kedatangan mas Nugroho F Yudho ke sumenep Madura ternyata ingin meliput secara khusus tentang keberadaan SD yang banyak dibangun di desa-desa tapi tidak ada muridnya. Memang waktu itu banyak sekali SD dibangun di Madura untuk alasan politis. Sekedar dibangun untuk mengukuhkan pengaruh Golkar, partai penguasa waktu itu. Bayangkan saja, di lokasi yang sama bisa ada SD 1 dan SD 2, pada hal muridnya cuma 25 orang. Tetapi SD yang menjadi instruksi presiden itu memang harus dibangun untuk menyaingi dominasi madrasah yang menjadi basis PPP ketika itu. Nah ini yang akan diliput secara investigative sama mas nugroho. Saya waktu itu cuma mikir. Beraninya wartawan kompas ini meliput. Tahu sendiri waktu itu control rezim orde baru terhadap pers begitu mencengkeram. Pers dibungkam. Jika macam-macam bisa dibredel. Setelah ngobrol di rumah kakak, mas nugroho akan diajak oleh kakak ke utara desa saya yang jaraknya kira-kira 1 km. Di sana memang ada bangunan SD yang sejak didirikan tidak ada muridnya. Bangunannya masih utuh, terdiri dari kira-kira 7 ruangan, meski di sana-sini sudah rusak. Saya tahu karena SD dekat rumah nenek saya. Saya diajak kakak untuk juga menemani mas nugroho dan pak bakir. Berangkat naik mobil yang disopiri mas nugroho sendiri. Terus terang, ikut wartawan untuk meliput hal-hal tabu menurut rezim orde baru hati saya ciut juga. Jika ketahuan aparat keamanan pasti semua akan diinterogasi. Kehawatiran saya bukan saja pada aparat keamanan. Tetapi juga kepada aparat desa atau pegawai negeri yang jika mereka tahu pasti akan diinformasikan juga kepada aparat keamanan. Banyak aparat birokrasi dan pegawai negeri menjadi 'intel' dari pihak keamanan waktu itu. Sampai di lokasi, mas nugroho lihat-lihat bangunan SD yang sudah tidak terawat. Di situ ia juga banyak nanya sama kakak saya. Sebelum balik ke rumah kakak, mas nugroho menjepret bangunan SD itu dengan kodaknya. Di situ tidak lama. Kira-kira sekitar 20 menit. Saya tidak tahu apakah kakak, mas nugroho, dan pak Bakir memiliki perasaan yang sama dengan saya? Setelah dirasa cukup wawancara dengan kakak akhirnya mas nugroho dan pak bakir pamit. Menurutnya, ia masih akan meliput masalah yang sama di daerah lain di kabupaten Sumenep sebelum akhirnya balik ke Jakarta.

<<:>>(())>><<

Tahun 1990 saya ke Jakarta untuk kuliah di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat. Di kos-kosan secara patungan saya dan teman-teman langganan Kompas. Suatu hari, saya kaget dan juga bangga. Liputan mas nugroho tentang SD Inpres di sumenep Madura dimuat secara khusus. Teryata liputan itu harus menunggu 1 tahun untuk dimuat. Saya baca liputan itu berulang-ulang. Bahasanya sangat datar. Tidak menukik. Mas Nugroho mungkin melakukan "self sensor" untuk menyesuaikan dengan pakem bahasa jurnalistik orde baru. Dan astaga...foto saya tidak dipajang di situ he..he.. Kekagetan saya terus berlangsung. Bapak Bakir, guru saya sewaktu di madrasah Aliyah, yang dulu menjadi guide mas nugroho selama di Sumenep, diterima menjadi wartawan Kompas. Pak Bakir memang cocok menjadi wartawan Kompas. Selama mengajar di madrasah saya, ia termasuk guru favorit karena keluasan ilmunya dan wawasannya. Kekagetan kembali terjadi. Di Jakarta secara kebetulan saya ketemu dengan bapak Bakir ketika meliput kampanye dialogis PDI, partai yang ketika itu sangat dimusuhi oleh penguasa orde baru. Saya yang waktu itu menjadi mahasiswa sangat tertarik mengikuti dialog atau seminar yang pembicaranya kritis sama rezim orde baru. Kalau gak salah pembicaranya waktu itu Kwik Kian Gie. Di situlah saya sempat ngobrol dengan bapak Bakir. Dan itu perjumpaan saya yang terakhir dengannya, karena ketika ada acara Kompas di Sumenep yang didatangi pak Bakir beberapa tahun lalu, saya hadir tetapi tidak sempat ngobrol. Melalui kompasiana ini saya titip salam buat mas Nugroho dan pak Bakir. Matorsakalangkong Sumenep, 13 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun