[caption id="attachment_158865" align="aligncenter" width="450" caption="diunduh dari google"][/caption]
Apes jadi guru yang tidak di-UN-kan. Saat ini para siswa kelas XII sudah tidak menjadikannya sebagai pelajaran yang “penting”. Mereka hanya sibuk mempersiapkan pelajaran yang di-UN-kan. Fakta itu kelihatan sekali di ruang kelas atau di rumah mereka.
Lebih-lebih memasuki semester ke-2, biasanya jadwal tambahan dalam bentuk les sudah makin meningkat intensitasnya. Bahkan banyak sekolah yang sudah menerapkan jam nol-nol untuk memberi tambahan materi yang di-UN-kan. Tak cukup, les dilanjutkan pada sore hari.
Di luar pagi dan sore banyak siswa yang masih harus berkreasi sendiri, misalnya membentuk kelompok-kelompok belajar. Saya sering melihat, banyak siswa berkumpul di rumah temannya untuk belajar bersama materi yang di-UN-kan. Sepertinya, mereka belajar bersama dari rumah-rumah secara bergiliran.
Yang menyesakkan, jika ada guru “kreatif” memanfaatkan kesempatan menjelang UN ini. Mereka biasanya mengadakan les di rumahnya yang diikuti oleh siswanya. Tentu ini tidak gratis. Siswa diminta ‘sumbangan’.
Saya melihat Para siswa, meski ada yang bersemangat, tetapi banyak juga yang penuh beban. Wajah-wajah lelah dan kusam nampak sekali dalam raut muka mereka . Tetapi mereka harus tetap melakukannya, jika mereka tidak ingin menjadi pecundang dalam ujian UN.
Akibat focus pada materi UN, wajar jika siswa kurang menaruh perhatian untuk belajar materi lain yang tidak di-UN-kan. Mereka seperti kehilangan gairah. Diserang kemalasan akibat focus yang tidak seimbang. Saya menganggap wajar, karena serangan kemalasan belajar materi yang tidak di-UN-kan adalah akibat, bukan sebab. Makanya meski kena dampaknya, para guru materi yang tidak di-UN-kan tetap tidak menyalahkan siswa.
Serangan malas pada para siswa ini sudah dianggap siklus tahunan, sebagai akibat dari kemendiknas yang tetap ngotot mengadakan UN. Meski kadang harus diakui, banyak pelajaran yang tidak di-UN-kan ‘lebih penting’ ketimbang pelajaran yang di-UN-kan. Apalagi saat ini, satuan pendidikan dijamin oleh UU Sisdiknas untuk berkreasi mendesain kurikulum yang di sesuaikan dengan kebutuhan local yang sesuai dengan konteks social-budaya, dimana satuan pendidikan berada.
Tetapi sudahlah, percuma berdebat tentang UN penting atau tidak. Yang jelas, suka-duka menjadi guru materi yang tidak di-UN-kan tidak mungkin dirasakan secara empatik oleh pengambil kebijakan pendidikan. Toh meski apes karena siswa kelas akhir sudah kurang menaruh perhatian terhadap materi pelajarannya, para guru bidang ini tetap harus menjalankan panggilan jiwanya. Tetap berkewajiban mendidik dan mengajar, terlepas dianggap penting atau tidak. Atau para siswa, diserang kemalasan atau tidak.
Hanya satu masalah lain muncul dari kebijakan UN, seperti ada kastanisasi pelajaran di sekolah.
Matorsakalangkong
Sumenep, 28 januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H