[caption id="attachment_172793" align="aligncenter" width="538" caption="agribisnis-peternakan.blogspot.com"][/caption]
“Tahu gak paman…di rumah saya ada orang tua siswa kelas akhir yang terpaksa menjual sapi satu-satunya untuk bayar uang ujian anaknya,” ponakan saya bercerita ketika kemarin bersilaturrahim kerumah saya.
Saya terkesiap. Miris. Begitu sulitkah rakyat di republic ini, hingga untuk bayar ujian saja harus menjual sapi? Satu-satunya?
“Paman juga ingin tahu, berapa orang tua siswa memperoleh keuntungan menjual sapi? Hanya 150 ribu…,” ponakan saya melanjutkan ceritanya. Saya terkesiap lagi. Saya tahu betul bahwa orang tua siswa itu memelihara sapi berbulan-bulan. Tentu ketika dijual, ia mengharap keuntungan besar. Sayang, harga sapi saat ini memang turun. Dan ia hanya memperoleh keuntungan 150 ribu…
Ironi UN…
Peristiwa di atas sebenarnya merupakan sisi lain dari penyelenggaraan UN. Bagi orang tua di desa, UN bukan sekedar anaknya takut tidak lulus, tetapi juga “ujian” baginya untuk melepas benda berharga miliknya, agar anak bisa ikut ujian.
Betul UN gratis. Untuk tahun 2012, pemerintah mengajukan anggaran 580 milyar, naik 17,2 milyar dari anggaran tahun 2011. Tetapi fakta di lapangan tidak selalu indah. Siswa masih harus membayar uangUN yang biasanya dikoordinir oleh MKKS (bagi sekolah dinaungi diknas) atau KKM (bagi sekolah yang dinaungi depag).
Uang itu biasanya digunakan untuk membayar panitia penyelenggara ujian, pengawas, keamanan, konsumsi selama penyelenggaraan UN. Lalu subsidi UN dari APBN kemana? Dalam pengalaman saya, sekolah sering nombok, karena subsidi yang diberikan kepada tiap sekolah tidak mencukupi dari kebutuhan riil. Sekolah hanya menerima dari atas. Jarang diberi informasi yang jelas berapa semestinya menerima subsidi UN untuk membayar HR panitia, pengawas, pihak keamanan, dan konsumsi.
Di samping itu, subsidi dari APBN turunnya sering terlambat. Malah baru turun beberapa minggu setelah penyelenggaraan UN selesai. Jadi biasa dalam pengalaman saya, sekolah harus menalangi dulu uang yang dibayarkan untuk HR macem-macem itu. Ternyata, setelah turun, uang subsidi APBN itu tidak sesuai dengan pengeluaran sekolah. Pokoknya sering tekor deh…
Di samping bayar UN, siswa akhir juga harus bayar uang UAS (Ujian Akhir Sekolah). Besarnya biasanya ditentukan oleh MKKS/KKM. Hasil ujian ini juga menentukan, karena hasil UAS masuk dalam formula kelulusan UN setelah diakumulasi dengan hasil rapor kelas 2 dan 3.
Memang di sekolah saat ini ada subsidi BSM (Bantuan Siswa Miskin). Tetapi bagi sekolah di desa, seringkali dana itu tidak cukup dengan kebutuhan riil, karena siswa miskin jumlahnya lebih banyak dengan jumlah subsidi yang diterima. Apalagi dinas pendidikan maupun depag menerapkan kouta, bukan berdasar jumlah riil siswa miskin. Tak jarang sekolah yang memiliki hubungan dekat dengan diknas dan depag, memperoleh kouta lebih banyak ketimbang sekolah lainnya, meski kadang jumlah siswanya lebih sedikit.
Kelas Akhir, Orang Tua Merana
Bagi orang tua yang kurang mampu, menjelang anaknya lulus kadang seperti memperoleh “cobaan beruntun”. Mereka harus menyiapkan banyak biaya untuk memastikan anaknya lulus dari sekolah. Termasuk kadang dengan menjual benda berharga satu-satunya.
Belum lagi sehabis ujian, bagi sekolah yang genit, merayakan perpisahan besar-besaran. Setiap siswa lagi-lagi harus ditarik sumbangan. Sekali lagi, bagi yang mampu mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi bagi yang tidak, menjelang anaknya lulus, orang tua harus pontang-panting, bahkan mencari pinjaman.
Saya sebenarnya termasuk orang yang menyuarakan, sebaiknya UN ditiadakan saja. Anggaran sebesar Rp. 580 milyar jika digunakan untuk membangun infrastruktur pendidikan yang rusak akan lebih mengena. Apalagi faktanya, subsidi UN tidak selalu indah dalam relaitasnya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 4 april 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H