Seorang anak bertanya pada Tuhannya, “Tuhan, kenapa bundaku suka menangis?”
Allah menjawab, “karena ibumu seorang wanita. Aku ciptakan ia sebagai makhluk istimewa. Aku kuatkan bahunya untuk menjaga putra/putrinya. Aku lembutkan hatinya untuk meciptakan rasa aman. Aku kuatkan rahimnya untuk menyimpan benih manusia. Aku teguhkan peribadinya untuk terus berjuang saat orang lain menyerah. Aku berikan dia rasa sensitif untuk mencintai putra-putrinya dalam keadaan apapun. Aku kuatkan bathinnya untuk tetap menyayangi meski disakiti oleh putra-putrinya atau oleh suaminya sekalipun. Aku beri dia kekuatan untuk mendorong suaminya belajar dari kesalahan. Aku beri dia keindahan untuk melindungi bathin suaminya. Bundamu adalah makhluk yang sangat kuat. Jika suatu saat kau melihatnya menangis, itu karena Aku beri dia beri air mata sewaktu-waktu untuk membasuh luka bathinnya sekaligus untuk memberinya kekuatan baru.
Ibu terhebat di dunia
Puisi di atas saya peroleh dari teman saya yang mem-forward sms anaknya, yang saat ini sudah kuliah, ke HP saya. Sambil ia bercerita, bahwa belakangan ini ada masalah berat yang sedang menggoncang rumah tangganya. Sahabat saya dengan istrinya sedang menghadapi masa-masa sulit yang sebelumnya tidak pernah mereka alami. Tak etis jika saya menulisnya di media social ini.
Sebelum mem-forward sms anaknya, sahabat saya memang bilang bahwa anaknya sudah tahu terhadap masalah yang dideranya. Meski ia mencoba bersikap tenang, tapi saya menangkap ada kekhawatiran dalam wajahnya. Tidak saja karena masalah bersama istrinya makin meluas, tetapi khawatir masalah ini akan mengganggu konsentrasi pendidikan anaknya. Ya…ketika konflik dengan pasangan, anak ternyata tetap menjadi focus perhatian.
Membaca puisinya yang entah ia tulis sendiri atau copy paste dari orang lain, saya sudah bisa menerka makna dalamnya. Dari puisi di atas nampak sekali bahwa anaknya tidak memihaknya. Sang anak berada di pihak ibu.
Kegetiran sahabat saya makin menjadi. Meski ia terpojok tapi ia tidak bisa melawan keindahan puisi anaknya. Puisi yang dikirim via SMS itu seakan menamparnya meski dengan lembut. Seakan menghardiknya meski dengan suara halus. Seakan mengingatkannya meski dengan santun. Seakan menyalahkannya meski tidak menghakimi.
Anaknya telah meramu diksi dengan tepat. Ia mensyukuri anugerah Tuhan yang telah mencipta perempuan, ibunya, sebagai sosok yang memiliki kekuatan dan ketabahan luar biasa. Ketabahan dan kekuatannya ini mengalahkan egosime anak, bahkan suaminya sekalipun, dengan cinta dan kasih sayangnya. Sebagai seorang suami, sahabat saya telah diajari untuk mengingat kekuatan dan ketabahan ibunya. Kasih sayang dan cintanya yang tulus.
Satu lagi, dalam puisi itu semua pilihan diksi dialamatkan pada ibu. Jika ada kata “suami” itu hanya disebut sekali. Cerdik nian anak ini. Tetapi, secara bipolar sebutan ibu yang hebat, kuat, dan tabah memperoleh maknanya jika disandingkan dengan bapak yang tidak hebat, tidak kuat, dan tidak tabah. Meski tidak terungkap, makna dalamnya saya pikir sangat clear dalam puisi di atas.
Sahabat saya,ketika saya mengatakan bahwa luar biasa makna puisi ini, ia hanya mengatakan iya. Ia seakan membenarkan seluruh isinya. Ia seperti tidak memiliki cadangan untuk marah, karena kritik disampaikan dengan cara santun dan indah, melalui puisi.
Saya pikir berbeda seandainya anaknya menyampaikan kritik kepada sahabat saya dengan bahasa yang vulgar, kasar, dan tidak santun. Tentu cara ini akan direaksi lain. Pesan yang hendak disampaikan juga kabur, karena cara menyampaikannya yang mengaburkan.
Nah, bukankah penting mengenalkan sastra bagi anak kita, biar kalau mengkritik kita disampaikan melalu puisi?
Matorsalangkong
Sumenep, 5 april 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H