Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Mana Benang Kusut Pendidikan Hendak Diurai?

2 Mei 2012   14:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sejatinya di hari pendidikan ini tak boleh waktu menguap. Jadikan hari ini momentum tepat untuk melakukan refleksi fundamental terhadap pendidikan kita. Benang kusut pendidikan mulai sejak manajemen, akses, dan mutu perlu jelas road map bagaimana menyelesaikannya.

Saya hanya mencoba mengurai salah satu benang kusut itu, yakni soal mutu guru. Ini saya pikir salah satu akar masalah pendidikan kita. Kira-kira jika persoalan mutu guru bisa diselesaikan, satu akar masalah sudah tertangani.

Kenapa guru? Karena gurulah sebenarnya ujung tombak pendidikan. Gurulah orang terdepan yang tahu degup napas proses pembelajaran di ruang kelas. Gurulah yang sehari-hari berintraksi dengan murid di sekolah.

Realitas Guru

Bagaimana kondisi guru saat ini? Dari sisi kesejahteraan mulai makin membaik. Berbagai kebijakan terkait kenaikan gaji guru dan banyaknya tunjangan telah membuat para guru tersenyum. Meski dalam realitasnya masih terjadi setor upeti bagi atasan, saya tak tertarik berbicara soal ini.

Yang penting disoal justru mutu guru dalam penguasaan materi ajar serta metodologi pembelajaran yang kering dan tak menarik lagi. Inilah yang saya rasakan paling dominan dalam pengalaman saya menjadi guru.

Rasanya benar, bahwa orang yang sulit berubah adalah guru. Kasus kecil saja, banyak guru yang sudah memperoleh tambahan gaji dan aneka macam tunjangan, tapi tak sedikitpun menyisakan uangnya untuk beli buku, ikut seminar atau workshop untuk mengembangkan kapasitasnya.

Akibatnya banyak guru yang tertawan oleh mindset lama. Mengajar seolah hanya berceloteh sampai waktunya habis. Atau yang dikenal dengan metode ceramah. Inilah metode yang kebanyakan guru suka. Karena tanpa pesiapan matang, misalnya membuat lesson plan, guru dengan mudah bisa menggunakannya.

Wajar jika kemudian murid tidak termotivasi belajar. Metode favorit guru ini sama sekali tidak menantang. Jangankan murid terdorong untuk bisa mengeksplor sendiri rasa ingin tahunya, malah di dalam kelas murid seperti mahluk yang dicocok hidungnya. Diam dan membisu.

Sejatinya penguasaan materi ajar ditambah kemampuan metodologi jitu akan merangsang murid kritis dan kreatif. Metodologi yang melibatkan mereka dalam proses pembelajaran akan menantang mereka untuk belajar. Tidak sekedar di sekolah tetapi juga di rumah.Inilah yang sebenarnya saat ini dibutuhkan untuk meretas kebekuan mindset banyak guru.

Usaha yang Buang-buang Anggaran

Apakah pelatihan dan workshop tidak pernah dilakukan? Sangat sering. Birokrasi pendidikan sering melakukannya. Bahkan tak terhitung jumlahnya. Tapi kenapa, kondisi guru tetap saja? Inilah masalahnya.

Saya menyaksikan proses peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan atau workshop yang dilakukan birokrasi pendidikan tak didesain dengan bagus. Malah dalam pengalaman saya birokrasi pendidikan kadang tidak bisa membedakan seminar, pelatihan, dan workshop. Semua diperlakukan sama.

Pernah di daerah saya birokrasi pendidikan mengadakan workshop penyusununan RPP berbasis karakter. Peserta yang ikut hampir 300 orang. workshopnya hanya setengah hari. Coba bayangkan, bagaimana mungkin workshop diikuti peserta sebanyak itu? Kalau seminar saya bisa memaklumi. Ketika saya tanya teman yang ikut, bagus enggak workshopnya? Jawabanya singkat, kacau.

Pelatihan yang biasanya diadakan birokrasi pendidikan juga nasibnya sama. Seringkali dilakukan sekenanya tanpa ada desain yang matang. Belum lagi yang menjadi nara sumber, biasanya birokrat pendidikan, rata-rata berceramah. Persis penataran P4 dulu dimana peserta dianggap gelas kosong dan tidak tahu apa-apa.

Saya sampai berkesimpulan, pelatihan, workshop, atau apapun namanya hanya buang-buang anggaran. Birokrasi pendidikan yang melaksanakan miskin ide, konsep, dan metodologi. Wajar meski banyak pelatihan kurang memberi dampak perubahan bagi guru.

Apa yang Mesti Dilakukan?

Negara melalui birokrasi pendidikan sangat mendesak untuk mengurai benang kusut pendidikan melalui guru sebagai pintu masuknya. Negara berkewajiban untuk memfasilitasi peningkatan kapasitas guru, jika berharap pendidikan bisa berlangsung dengan baik.

Kegiatan workshop dan pelatihan tetap harus digalakkan. Cuma yang perlu dibenahi pada desainnya. Saya pikir tak ada salahnya birokrasi pendidikan menyerahkan pengembangan kapasitas guru kepada konsultan pendidikan atau NGO yang memiliki reputasi bagus di bidang pendidikan. Biarlah lembaga itu mendesain kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kapasitas guru.

Metodologi yang biasa digunakan konsultan atau NGO biasanya menggunakan pendekatan andragogi, dimana peserta diajak melalukan rekflesi, teori, dan aksi. Dengan cara begini, para guru akan kritis melihat dunianya saat ini, termasuk pengetahuan dan metodologi yang digunakanketika mengajar.

Selesai mengikuti pelatihan atau workshop –yang tentu tidak bisa selesai setengah hari—alumni pelatihan diminta untuk membuat komunitas-komunitas, yang sudah ada misalnya MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), di sekolah atau kecamatan/kelurahannya. Ini dimaksudkan untuk menularkan pengetahuan yang diperoleh di pelatihan atau workshop.

Untuk memastikan MGMP jalan, birokrasi pendidikan bisa membuat instrument penilaian yang pelaksaanan evaluasinya bisa melibatkan pengawas pendidikan. Di samping itu, keterlibatan guru dalam komunitas ini menjadi prasyarat baginya ketika mengurus kenaikan pangkat, tunjangan, atau yang terkait dengan kesejahteraannya.

Cara lain, secara bertahap libatkan beberapa guru di setiap sekolah untuk mengikuti workshop atau pelatihan yang –seperti saya sebut di atas—didesain dengan bagus. Kemudian wajibkan guru yang sudah mengikuti kegiatan ini untuk membuat komunitas guru di sekolah masing-masing. Anggap guru yang mengikuti kegiatan itu menjadi CO (community organizer) yang bertugas memfasilitasi kegiatan-kegiatan serupa di sekolahnya masing-masing. Dengan cara ini, disiminasi pengetahuan dan keterampilan mengajar bisa ditularkan terhadap guru yang belum mengikuti kegiatan.

Ini hanya sekedar masukan. Tentu banyak cara lain yang bisa ditempuh. Tetapi poin yang ingin saya sampaikan kira-kira sebagai berikut :


  • benang kusut pendidikan bisa dimulai dari guru.
  • realitas guru saat ini tertawan dalam mindset lama terutama dalam metodologi pembelajaran.
  • kegiatan pengembangan kapasitas guru seperti pelatihan dan workshop yang dilakukan birokrasi pendidikan tak memberi dampak perubahan.
  • perlu reformulasi terhadap kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas guru, agar tidak terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang hanya menghamburkan anggaran dan terkesan menjadi proyek.

Semoga di hari pendidikan ini, para guru tetap tergerak untuk terus belajar. Belajar. Belajar.

Matorsakalangkong

Sumenep, 2 mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun