Sekolah bukan superman. Tak mungkin sekolah mendidik anak sendiri. Tanpa keterlibatan orang tua hampir mustahil, tugas mendidik anak akan sukses. Apalagi dalam konteks sekarang, kenikmatan semu gaya hidup konsumerisme dan ledakan informasi menjadi tantangan serius bagi anak didik. Limbahnyameluber ke ruang-ruang sekolah yang sedikit banyak mempengaruhi budaya belajar.
Sayang, banyak orang tua masih abai terhadap persoalan ini. Ketika anaknya dipasrahkan kepada sekolah, wewenang mendidik seolah sepenuhnya menjadi kewajiban sekolah. Sekolah dibebani harapan-harapan melangit, “anak saya harus cerdas, berkarakter, berbudi luhur, memiliki kompetensi lulusan yang handal, dan siap bersaing di era global.”
Lalu dimana orang tua? Sembunyi. Ia kembali larut dalam ritme kesibukan yang memenjarakannya. Tenggelam dalam sengitnya pertarungan hidup yang tiada habisnya. Lalu pendidikan anak? Lha kan ada sekolah. Buat apa disekolahkan, kalau sekolah tidak mampu menjejakkan harapannya? Yups, soal pendidikan anak, berlaku juga falsafah hidup orang Jakarta, “Lu…Lu…Gue..Gue…”.
Kesadaran tentang pendidikan anak muncul kembali ketika ada pembagian rapor. Atau ketika dipanggil oleh sekolah karena anaknya punya masalah. Selesai rapor diambil dan panggilan sekolah dihadiri, kesadaran kembali ke titik nol, “soal pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah”.
Inilah yang saya alami. Begitu sulitnya membangun kemitraan produktif antara sekolah dan orang tua. Mensinergikan bagi peran antara keduanya. Pada hal, sekolah menjalankan proses pembelajaran tidak dalam ruang hampa. Anak didik hadir ke sekolah membawa segenap masalahnya sendiri. Sejak masalah keluarganya, lingkungan teman sebayanya, dan masalah pribadi yang membelitnya ikut mewarnai proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Pernah pihak sekolah memberikan nomerhp kepala, waka, dan wali kelas kepada semua orang tua siswa ketika ada silaturrahim bersama mereka. Tetapi yang memanfaatkan nomer itu sangat sedikit, tidak sampai 5%. Fakta ini menjelaskan betapa susahnya membangun sinergi antar sekolah dan orang tua siswa.
Sejatinya, keluarga atau orang tua menyediakan lingkungan yang sehat untuk anaknya. Selalu memberi support bagi anak untuk menjadi manusia pembelajar. Selalu memberi landasan etik sebagai bekal bagi anak dalam membangun relasi sosialnya, terutama dengan kelompok sebayanya. Dan selalu mencari informasi tentang perkembangan anak di sekolahnya.
Saat ditemui masalah, luangkan waktu. Keluar sejenak dari kungkungan rutinitas. Ini masalah pendidikan anak. Sedikit saja abai, kadang kita terlambat. Tiba-tiba anak sudah mencari pemecahan sendiri yang kadang sulit kita duga. Maka berkomunikasi dengan pihak sekolah adalah keniscayaan. Komunikasi dengan sekolah akan mempertemukan kesamaan pandangan, orang tua dan sekolah tepat menyelesaikan masalah anak sesuai dengan latar belakang masalah anak.
Madrasah tempat saya mengajar sedang merencanakan pembentukan wadah untuk bisa sharing secara rutin antaraorang tua dengan pihak sekolah di 5 desa yang menjadi basis madrasah. Dalam sharing ini akandiupayakan membicarakan secara menyeluruh permasalahan anak didik , bahu-membahuanatara pihak sekolah dengan orang tua. Termasuk juga merumuskan bagi peran antar keduanya.
Jika kita mengharapkan sekolah tidak cuma sekedar menjadi tempat mengajar, tetapi juga mendidik, maka saatnya sekarang proaktif mencari informasi tentang perkembangan anak di sekolah, dan memberikan informasi tentang perkembangan anak di rumah dan lingkungan sosialnya. Harus diingat, sekolah bukan superman yang bisa mendidik anak sendiri.
Matorsakalangkong
Semenep, 20 januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H