[caption id="attachment_84982" align="alignleft" width="207" caption="sampe lecek tetap semangat nulis...(google.com)"][/caption] Mengenal kompasiana bagi saya berkah dan bencana sekaligus. Berkahnya, saya menemukan gairah tak terkira dalam menulis. Malah setengah gila. Bayangkan. Biasanya saya tidak pernah tidur jam 1 dini hari, sejak kenal kompasiana saya melakukannya. Wajar jika kemudian saya dari sisi jumlah lebih produktif menulis. Jika sebelum mengenal kompasiana saya hanya menulis di blog pribadi rata-rata 4 tulisan per bulan, setelah kenal kompasiana rata-rata 15-20 perbulan. Peningkatan cukup pesat. Melampaui angka pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY (ha..ha...ngarang, pada hal sumpah saya tidak tahu berapa angka pertumbuhan –minus pemerataan— ekonomi kita).
Setiap hari dalam pikiran saya hanya menulis. Ide-ide tak karuan bermunculan. Kompasiana terus membayang. Membetotkan daya tarik untuk selalu dikunjungi. Sayang, tidak semua tulisan terwadahi dalam struktur bahasa. Selalu saja ada jarak antara apa yang dipikirkan dengan bahasa yang ingin menampungnya. Apalagi dalam bentuk tulisan. Tetapi toh kesulitan menampung tak membunuh gairah membuncah untuk selalu menulis di kompasiana. Mungkin karena dasarnya saya memang hobbi menulis.
Dalam tulisan, diri saya ada. Kadang-kadang saya hilang, karena melebur dalam gagasan itu sendiri. Ya..saya adalah gagasan itu sendiri. Lagi, saya bisa mengambil jarak dari jasad yang mewadahi kesadaran saya. Saya merenung. Berefleksi. Mencari mutiara. Mencari hikmah. Setidaknya menulis menjadi tempat bagi saya untuk menertawakan diri sendiri. Ketololan, kesombongan, kealfaan, kemalasan, kengawuran, kerakusan, dan sifat lain yang dehumanistik saya refleksikan ketika saya menulis. Setidaknya saya berharap menghasilkan sesuatu yang ganda. Tulisan dan pencerahan jiwa.
[caption id="attachment_84983" align="alignright" width="263" caption="ramai di pikiran, sepi dalam kenyataan (google.com)"]
Kompasiana melecutkan tidak saja gairah menulis, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga berefleksi. Inilah pertemuan yang mengharukan dan indah antara saya dan kompasiana. Terus terang, tampilan baru sudah ok. Tapi membuncahnya gariah menulis bukan karena tampilan baru, bagi saya lebih karena kompasiananya. Apapun tampilannya. Dalam psikologi ABG, inilah cinta buta.
Cuma sayang, kompasiana juga menghadirkan bencana. Berjam-jam berkompasiana telah merampas dunia riil saya. Waktu untuk berintraksi dengan anak-istri terkurangi. Suatu hari istri saya sempat “mengancam” saya.
“Awas ya...kalau modemnya besok hilang?”
[caption id="attachment_84980" align="alignleft" width="160" caption="inilah anak saya yang jadi korban kegilaan saya sama kompasiana"]
Tidak cuma keluarga, tetangga saya kena efek dominonya. Mungkin belakangan tetangga saya kaget, tumben tidak main-main ke sebelah kiri-kanan. Pada hal biasanya suka minta kopi gratis. Gimana mau berintraksi dalam dunia riil dengan tetangga, jika setiap saat pikiran saya selalu dibombardir untuk selalu menulis, menulis, dan menulis?
Yang paling sial, saya seperti kehilangan memori yang menyebabkan saya lupa, mana tugas yang harus saya prioritaskan. Karena yang prioritas sejak kenal dengan kompasiana, ya menulis. Prioritas yang kedua dan ketiga, juga menulis. Mungkin, kompasiana perlu menyediakan psikiater bagi kompasianer gilanya. Ya..kira-kira semacam ganti asuransi, ha...ha...
[caption id="attachment_85001" align="aligncenter" width="533" caption="tetap semangat....(google.com)"]
Sumenep, 21 januari 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI