[caption id="attachment_158160" align="aligncenter" width="460" caption="detiknews"][/caption]
Afriyani, nama yang mendadak popular. Bukan karena kerja kemanusiaannya, tapi karena justru menghabisi sembilan manusia. Ia sendiri pasti tidak berpikir akan mencabut nyawa sembilan orang di jalanan. Cuma satu hal yang dia abai, proses yang ia lakukan sebelum mengemudikan mobil. Yang fatal, ia ternyata menenggak minuman beralkohol dan membiarkannya terjerat dalam kenikmatan semu narkoba.
Sebagai seorang yang abai dan gegabah sehingga menyebabkan nyawa orang melayang dalam hitungan detik, ia pantas dihujat. Ia memang harus menerima resikonya. Resiko sebagai orang yang selalu menjunjung kebebasan dan hak, khas anak-anak muda di negeri yang makin liberal ini.
Di sisi lain, saya melihat Afriyani ramai digunjingkan juga sebagai bentuk katarsisme dari kedongkolan dan kegerahan orang melihat prilaku masyarakat kita sendiri, di jalan atau dalam ruang lain. Afriyani adalah symbol dari negara, aparat, elit, dan bahkan kita sendiri yang kian hari kian abai terhadap sesama.
Pantas, d jalan pun kita dongkol dan marah melihat kekuasaaan digelar. Kekuasaan untuk selalu menang misalnya mendahului orang, menerobos, menyalip, menyerempet, hingga menabrak orang adalah nyata. Bodo amat dengan orang lain, yang penting saya cepat hingga tujuan.
Ketika kasus xenia maut afriyani terjadi,maka segenap kemarahan dan kedongkolan membuncah. Mengalir tak terbendung karena tanggul pengaman sudah dilepas. Sasaran kemarahan menemukan muaranya. Afriyani orangnya.
Mungkin di antara ribuan atau bahkan jutaan orang yang geram terhadap Afriyani, justru prilakunya tak jauh-jauh dari Afriyani sendiri. Bukan sekedar prilaku di jalan, tetapi di ruang-ruang public lain yang seharusnya menuntut pertanggungjawaban.
Apa sih, bedanya Afriyani dengan elit kita? Tak ada. Jika Afriyani menenggak narkoba untuk mencari sensasi dan kesenangan, elit kita justru mencari sensasi dan kesenangan melalui korupsi yang dilakukannya.
Jika Afriyani mengemudikan mobil dengan zig-zag dan tanpa kendali, elit kita juga dalam meraih dan menjalankan kekuasaan ngebut, zig-zag, dan motong tanpa peduli sama yang memberikan amanah. Jika Afriyani mengendarai mobil bodong, elit kita juga menjalankan kekuasaan bodong, karena krisis ligitimasi.
Ilustrasi di atas hanya sekedar contoh bahwa Afriyani sebenarnya wajah bangsa kita sendiri. Bangsa yang sudah pongah. Bangsa yang careless. Bangsa yang kebablasan menjalankan demokrasi liberal. Bangsa yang tak taat aturan. Bangsa bodong, karena seluruh kekayaannya sudah sold out. Bangsa yang tak jelas mau menuju kemana. Ketika bicara bangsa berarti kita semua yang bermimpi menjadikan negeri ini sebagai rumah bersama.
Tentu keluar dari masalah ini, tak cukup dengan menghujat dan geram pada Afriyani. Karena Afriyani sebenarnya adalah wajah bangsa kita sendiri. Bangsa yang kusut karena masyarakatnya kusut. Atau jangan-jangan saya, Anda, dan kita semua menyumbang pada kekusutan bangsa ini?
Afriyani harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi kita juga punya PR, bagaimana membuang wajah Afriyani dari wajah kita sendiri.
Matorsakalangkong
Sumenep, 24 januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H