Bagi kebanyakan ABG sekarang, melihat temannya berseragam pramuka, memakai topi baret, mengalungkan pelintiran “bendera” merah putih di leher, serta tongkat “ajaib” di tangan ibarat melihat sosok mahkluk asing. Sungguh jauh dari kesan modis. Bahasa mereka, tidak gaul.
Pramuka kalah pamor dari aktivitas lain di mata ABG. Sebut saja, music. Sebutan anak band tentu lebih gaul ketimbang anak pramuka. Atau basket. Meski badan rata-rata pelajar Indonesia tidak tinggi, namun olahraga ini begitu populer di kalangan pelajar. Yang paling susah, ada fenomena di kalangan pelajar suka nongkrong. Kelewat santai menjalani hidup. Bahkan yang paling miris jika sampai terlibat tawuran.
Kemendikbud Meretas Jalan
Saya menyambut baik gagasan mendikbud mengembalikan martabat pramuka di sekolah. Seperti dilansir media, melengkapi perubahan kurikulum di tahun 2013, pramuka dijadikan ekstrakurikuler wajib di tingkat SD/MI dan SMP/MTs [baca, Draft Kurikulum Baru SMP, Ada Apa Saja?] . Gagasan ini seakan menjadi penguat dari keinginan Kemendikbud untuk menonjolkan pendidikan karakter di sekolah.
Ada beberapa alasan yang menjadikan Kemendikbud mewajibkan pramuka sebagai kegiatan ekskul di sekolah dasar. Pertama, aspek legalitas pramuka jelas.Kedua, pramuka dari sisi pendidikan dan kegiatan, mengajarkan banyak nilai, mulai dari kepemimpinan, kebersamaan, sosial, kecintaan alam, hingga kemandirian.Ketiga, secara organisasi pramuka juga well-organized [ baca, Alasan Pramuka Jadi Ekskul Wajib untuk SD]
Upaya Kemendikbud ini bagi saya sebagai seorang guru patut diaparesiasi. Karakter yang dikandung dalam kegiatan pramuka menemukan lokusnya untuk mengakar kembali di habitat yang selama ini sudah mulai ditinggalkan. Semua pasti sepakat nilai seperti kepemimpinan, kebersamaan, sosial, kecintaan alam, hingga kemandirian sangat penting dikembangkan sejak usia dini.
Saya optimis, jika karakter ini mengakar dalam kepribadian siswa, akan lahir generasi-generasi yang mandiri, tangguh, tahan banting, setia kawan, serta peka terhadap masalah-masalah lingkungan. Nilai-nilai dan karakter semacam ini akan mengimbangi gaya hidup kebanyakan pelajar saat ini yang cenderung bermalas-malas, cengeng, kurang santun, ego-sentris, dan mudah terpengaruh.
Sebuah Kesaksian
Saya menyaksikan sendiri bahwa pramuka sangat kuat dalam membentuk mental tahan banting anak. Saya punya teman yang memiliki dua anak. Teman saya ini karena suatu alasan bercerai dengan istrinya, dan dua anaknya memilih ikut bersamanya.
Ketika masih duduk di sekolah dasar, anak pertama aktif di pramuka. Sedangkan anak kedua tidak. Saya menemukan karakter yang berbeda dalam dua anak ini.
Sebagai anak korban keluarga broken home, tentu tak mudah bagi anak ini untuk menjalani hidup. Tapi saya menyaksikan anak pertama yang aktif dalam kegiatan pramuka ternyata lebih tangguh. Ia tidak cengeng menyikapi masalah dan lebih mandiri. Mungkin ini hasil dari nilai yang ia timba dari kegiatan pramuka. Salah satunya ia peroleh dari kegiatan perkemahan yang biasanya jauh dari rumah, dimana ia dituntut untuk mandiri, disiplin, dan mampu bekerjasama dengan temannya.
Sementara adiknya yang tidak aktif dalam kegiatan pramuka tak pernah mengalami nilai-nilai seperti itu. Adiknya memiliki karakter yang berbeda. Cenderung cengeng, labil ketika menghadapi masalah, dan tidak memiliki keterampilan memecahkan masalah.
Meski karakter dua anak ini banyak factor yang memengaruhinya, tetapi saya percaya pramuka sedikit banyak turut membentuknya. Dari kesaksian ini, saya makin yakin bahwa pramuka bisa menjadikan anak tahan banting dan mandiri. Makanya, saya menyambut positif gagasan Kemendikbud menjadikan pramuka sebagai kegiatan wajib ekskuluntuk anak SD/MI dan SMP/MTs.
Mari tepuk pramuka.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 22 November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H