[caption id="attachment_201371" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]
Ibu saya dua hari lalu bilang, “Adel waktunya puasa sekarang. Kan sudah kelas 3?,” dawuhnya mengingatkan.
Saya mafhum. Anak pertama saya sekarang sudah duduk di kelas 3 MI. Usianya sudah 9 tahun meski kurang beberapa bulan. Bagi ibu saya, penanda anak harus dibebani kewajiban puasa atau shalat gampang. Kalau anak kelas 3 orang tuanya sudah harus agak tegas mendorong anaknya untuk melakukan kewajiban agama.Karena kelas 3 dalam pandangan ibu saya pasti usianya 9 tahun. Pada hal sekarang umur 7 tahun sudah kelas 3. Maklum ibu saya yang tidak mengenyam pendidikan formal mengukur pada usia anak sekolah di zaman dulu.
Sekedar Nostalgia
Saya dulu dididik agak tegas ketika kelas 3. Saat itu usia saya belum 9 tahun. Orang tua sudah mewajibkan saya untuk melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Misalnya dalam soal shalat dan puasa. Dalam konteks puasa, saya pasti dibangunkan ketika sahur. Saya diajari berniat bahwa besok akan menjalankan puasa wajib.
Meski siangnya control orang tua tidak begitu ketat, tapi ketika sahur harus bangun. Ketika siang biasanya main di luar rumah. Bahkan bisa lintas desa. Kadang bersama teman-teman sebaya, saya siangnya berangkat mandi di sungai. Biasanya kalau berendam di sungai, rasa lapar dan haus tidak terasa. Apalagi diam-diam, air sungai dibiarkan lewat mulut. Glek. Diminum. Saat itu kesadaran akan disaksikan oleh Tuhan belum kuat. Yang penting, tidak diketahui orang tua.
Ketika belajar berpuasa dulu, memang saya jatuh-bangun. Kadang sukses, tapi juga banyak bolongnya. Cuma ada satu hal yang bisa saya ambil pelajaran dari orang tua dulu. Saya diajak sahur dan diajari berniat oleh orang tua, rupanya ingin mengajari anaknya, jika niat bulat rasa lapar dan haus akan bisa teratasi.
Ketika saya agak dewasa baru saya tahu, bahwa usia 9 tahun memang sudah diperintahkan oleh Nabi mengajari –dalam konteks hadis ini—shalat. Bahkan kalau dalam usia ini masih bandel tidak shalat, orang tua boleh memukulnya. Tentu memukul di sini diukur dengan usia anak-anak. Dan daerah yang aman, sesuai pengalaman saya dulu ketika sering dipukul sama ayah, di betis ke bawah.
Usia Berapa Puasa?
Berdasar atas pengalaman saya dulu, usia yang ideal untuk mengajari anak puasa penuh berarti 9 tahun juga. Soal anak kuat besoknya atau tidak, itu soal lain. Karena pasti anak tidak seketika bisa puasa penuh. Maka, kalau setengah hari misalnya tidak kuat, ya dikasih makan. Yang penting di sini anak sudah dikenalkan pada niat yang diucapkan dengan sadar bahwa besok akan puasa.
Soal usia 9 tahun apakah secara psikologis kuat atau tidak, saya tidak tahu. Cuma kadang orang tua khawatir berlebihan. Kalau anak puasa takut kelaparan, dehidrasi, sakit, dan semacamnya. Ketakutan semacam ini, hanya akan menunda kesiapan anak untuk mulai belajar menjalankan kewajiban agamanya. Toh dalam usia ini baru tahap belajar. Jatuh-bangun biasa.
Yang penting ketika sahur anak sudah belajar berniat bahwa puasanya besokpenuh. Kalau kuat dilanjutkan, kalau tidak ya dibatalkan. Toh anak punya mekanisme pertahanan tubuh yang dia sendiri juga memahami, Cuma orang tua tentu harus mendampingi.Jadi berdasar atas pengalaman saya, usia 9 tahun tak masalah dikenalkan sama puasa.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Karena peringatan ibu itulah, akhirnya saya bersama istri berkomitmen mengajari anak serius berpuasa pada bulan ramadlan ini. Yang saya lakukan pertama tentu saja menyiapkan kesiapan mentalnya dengan mengajak berdialog tentang seputar puasa.
Namanya anak ketika diminta berpuasa, tentu saja ia berat. Karena dunianya bermain, yang muncul pertama kali, kalau main pasti lapar dan haus. Tapi kami mencoba menjelaskan tentang kenapa puasa diwajibkan, apa hikmahnya, hingga bagaimana kalau tidak kuat. Tentu dalam dialog itu kami membuka ruang diskusi, dimana anak memiliki ruang untuk bersuara dan bertanya.
Setelah lumayan lama, akhirnya anak saya sepakat untuk berpuasa. Pertama yang kami sepakati, ia siap bangun malam untuk sahur dan berniat mau puasa penuh. Terus kami juga menyepakati, kalau siang misalnya tidak kuat ia boleh makan, tetapi setelah itu harus “puasa” lagi hingga waktu buka tiba. Besoknya secara bertahap, ia siap untuk meningkatkan “lama” puasanya.
Kesepakatan semacam itu, meski dalam realitasnya belum tentu berjalan baik, membuat kami plong. Anak juga plong, karena ia terlibat dalam kesepakatan. Tinggal kami mendorong dan mendampingi agar ia bisa berpuasa, meski tidak penuh, sesuai janjinya. Nah, bagaimana pengalaman Anda?
Matorsakalangkong
Pulau Garam, 18 Juli 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H