Hi..hi..kok keranjingan Indonesian Idol sih? Pada hal saya sejak dulu memang gak demen sama acara kayak gini. Kalau mau menikmati music, ya nikmati saja tanpa harus menonton audisi yang bikin anak-anak muda kita merasa seolah-olah menjadi super star, justru di depan orang tuanya di rumah.
Cuma tadi malam sekitar jam 22.30 sehabis rapat di sekolah, saya berniat menonton piala Euro. Lha..kok yang muncul malah Indonesian Idol? Eh…ternyata pertandingannya jam 1 dini hari. Begini nih kalau penikmat Euro tapi tidak pernah jadwal pertandingannya.
Ketika saya baru buka channel RCTI, nampak Regina dan Judika berduet. Lengkingan suara Regina dan Judika membius saya untuk tetap menontonnya. Regina sukses. Tiga juri tepuk tangan sambil berdiri. Kata Daniel inilah kali pertama tiga juri melakukan hal yang sama. Eh..ternyata Regina merupakan peserta terakhir di acara itu.
Si Bengal Dhani
Sekalian saya ikuti acara itu sampai berakhir. Menunggu tiga peserta yang akan masuk ke tiga besar. Empat peserta dijejerkan di depan juri dan penonton. Sean masuk, Regina masuk, dan tinggal satu antara Yoda dan Dion. Di sinilah Daniel dengan cukup lama memain-mainkan emosi penonton [meski saya susah untuk larut]. Bahkan harus jeda oleh iklan, pertanda RCTI meraup keuntungan lagi.
Akhirnya setelah Daniel banyak “basa-basinya”, berdasar atas vote via SMS yang masuk, Dion harus terleliminasi. Juri yang memperediksi Yoda, tak berkutik. Hak veto mereka sudah habis. Tinggallah mereka seperti tiga orang nestapa. Dion, yang memang lebihbaik dari Yoda, harus kalah kualitasnya oleh “demokrasi” ala SMS.
Puncak kekecewaan ditunjukkan oleh si Bengal Dhani. Ia bangkit dari kursinya, datang ke arah Dion, memeluknya, dan kabur dari panggung yang –menurut Daniel—spektakuler— itu. Dhani tak tampak lagi hingga acara itu usai.
Aksi Dhani itu saya yakin sebagai bentuk protes terhadap masuknya Yoda ke tiga besar ala demokrasi SMS. Demokrasi yang dibangun atas kekuatan capital. Demokrasi yang tidak mementingkan kapasitas dan kualitas. Demokrasi yang tak menyentuh substansi. Di tangan demokrasi ala SMS, orang yang bagus harus terjungkal oleh orang kurang bagus. Meski tidak serupa, saya jadi ingat pemilihan umum yang selalu dimenangkan oleh calon yang memiliki uang banyak, meski kualitasnya minta ampun.
Dion yang Memukau
Yang patut dipuji sikap ksatria Dion sendiri. Sejak awal berdiri di depan hingga vonis jatuh, Dion sangat tenang. ia seperti mampu menguasai acak adut emosinya. Tebaran senyum selalu menghias di wajahnya. Berbeda dengan yang lain, ketegangan Nampak kental di wajahnya.
Hingga vonis jatuh, senyum Dion tak ikut jatuh. Bahkan dengan mantap ia mengatakan, “bahwa perjuangan sebenarnya ada di luar sana”. Panggung Indonesian Idol hanya “sasaran antara”. Indonesian tak lebih ibarat panggung sesaat yang tak perlu ditanggapi dengan emosional, karena panggung yang sebenarnya ada di luar sana.
Dion adalah contoh anak muda pekerja keras, tidak main-main, sangat menguasai bidangnya terutama di genre swing, menunjukkan karakternya meski kalah, mampu mengendalikan emosi, memiliki talenta, dan tak kenal menyerah. Ucapannya “bahwa perjuangan sebenarnya ada di luar sana” adalah ucapan yang menegaskan bahwa ia type anak muda yang tahan banting.
Dion bagi saya Dion adalah contoh kedamaian melalu tebar senyumnya dan kematangan emosinya, sesuatu yang diperlukan dalam konteks kebangsaan kita saat ini yang kita kelola dengan “marah-marah”. Sementara Dhani mengajari kita semua untuk lebih mementingnya substansi ketimbang isi, seuatu yang di negeri kita juga dilihat dengan logika terbalik. Semoga kita bisa menjemput hikmah.
Matorsakalangkong
Sumenep, 16 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H