Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mungkinkah Bapak Rumah Tangga Jadi Trend?

6 Mei 2012   14:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tadi sore saya menonton tayangan ulang acara Kick Andy di Metro TV. Dibawah judul Pria Pendobrak Mitos, terus terang acara ini sangat inspiratif. Benar-benar pengalaman hidup para pria tangguh di bawah bayang-bayang mitos yang mengungkungnya.

Salah satu yang menarik perhatian saya pengalaman pasangan Arie Eryawan dan Woro Hapsari. Tidak seperti lazimnya keluarga kebanyakan, peran dalam rumah tangga pasangan ini menggunakan “logika terbalik”. Arie, sang suami, menjadi bapak rumah tangga (BRT) yang melayani dua anaknya seperti lazimnya ibu rumah tangga (IRT). Masak, menyiapkan makanan, cuci piring, ngepel, nyeterika, nyuci dan tugas-tugas rumah tangga lainya adalah menu hariannya. Istri, Woro Hapsari, menjadi wanita karier yang setiap hari bekerja di luar rumah.

Pengalaman bapak Arie ini makin menguatkan bukti bahwa peran IRT yang selama ini dilakukan perempuan bukan kodrat, tapi hasil konstruksi budaya. Jika dianggap kodrat tidak mungkin bisa dipertukarkan. Misalnya hamil dan menyusui. Entahlah jika adaperkembangan pengetahuan yang sudah memecahkan kodrat ini.

Sementara peran IRT dan BRT bisa dipertukarkan. Karena peran ini tidak given, tetapi sekali lagi hasil konstruksi. Sebagai hasil konstruksi tentu sangat dibatasai oleh lingkungan budaya yang membentuknya. Antara satu tempat dengan tempat lain bisa berbeda.

Melawan Arus

Kick Andy memberi judul tayangannya kali ini sangat tepat, Pria Pendobrak Mitos. Dalam wawancara sangat jelas bagaimana bapak Arie sebagai BRT tidak sepenuhnya enteng bekerja.

Ketika ditanyakan oleh Andy F. Noya, apa kesulitan menjadi BRT, jawabannya ketika beli sayur. Bisa dibayangkan sulitnya bapak Arie harus berbaur dengan ibu-ibu tetangganya ketika penjual sayur mangkal di di komplek perumahannya. Makanya bapak Arie memilih membeli sayur ketika pedagang sudah jauh dari rumahnya.

Kasus di atas menjadi bukti bahwa menjadi BRT tidak gampang. Meski ia sudah terbiasa menjalankan tugas rumah tangga, tetapi ia masih sulit sepenuhnya keluar dari mitos bahwa rumah tangga itu urusan ibu.

Jangankan sepenuhnya menjadi BRT, membantu tugas istri saja kadang dipandang salah. Saya pernah suatu waktu mencuci baju istri. ketika saya jemur seorang tetangga bertanya, “lha..istrimu mana?

Saya langsung nyambung, pertanyaannya bukan sekedar urusan kemana istri saya. Tetapi lebih dalam lagi, tugas mencuci –apalagi punya istri—bukan urusan suami. Ya, pertanyaan tetangga saya sebenarnya refleksi dari kebanyakan cara pandang masyarakat, bahwa urusan domistik adalah urusan istri.

Akan Menjadi Trend?

Mungkinkah BRT ke depan akan menjadi trend? Bisa jadi. Tuntutan kesetaraan perempuan pasti sedikit banyak mempengaruhi cara pandang masyarakat kita. Ketika sang istri begitu kuat ingin menjadi wanita karier, bapak bisa memilih mengurusi rumah tangga.

Tentu proses negosiasinya pasti alot. Tetapi ini menjadi pilihan bijak ketimbang dua-duanya sama-sama bekerja di luar. Pengalaman bapak Arie ini sayap pikir contoh dari pasangan yang tuntas melakukan negosiasi dengan sang istri.

Tetapi saya menduga, dalam 10 tahun ke depan, BRT secara kuantitatif tidak akan banyak. Kuatnya cara pandang masyarakat tentang tugas-tugas domistik sebagai urusan istri masih sangat kuat, terutama pada masyarakat pedesaan.

Sementara di kota, kecenderungannya tetap akan seperti sekarang, dimana pasangan suami dan istri sama-sama ngotot bekerja di luar rumah. Soal anak kemudian menjadi urusan baby sitter. Meski dalam alam bawah sadarnya,saya yakin, ketika harus memilih pasti kecenderungannya pada ibu untuk mengurus rumah tangga.

Saya rasa, pengalaman bapak Arie sangat bermanfaat terutama bagi masyarakat kota. Pesan yang hendak disampaikan sebenarnya gamblang, harus ada bapak/ibu di rumah untuk mengurusi anak. Karena kasih sayang tidak bisa dititip kepada baby sitter.

Matorsakalangkong

Sumenep, 6 mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun