Lisan setajam belati. Lisan yang mengeluarkan kata tak santun akan menancapkan luka. Ibarat getokan paku, meski dicabut bekas getokannya tetap ada. Sama. Meski minta maaf, ucapan yang kadung melukai hati bekasnya tak bisa hilang.
Para orang tua wajib hati-hati. Ketika marah sama anak, kontrol emosi. Jaga lisan sekuat tenaga untuk tidak menghamburkan paku. Sekali paku dihamburkan ia melesat bagai anak panah yang langsung menghunjam perasaan anak Anda.
Jika setiap kali berkomunikasi dengan anak kita menghunjamkan belati, memori anak akan menyimpannya dalam alam bawah sadarnya. Lama-lama ia mengental. Jika sudah akut, anak akan mengalami fase frigid, suatu fase dimana anak sudah ‘mati rasa’ terhadap orang tuanya.
Inilah yang terjadi sama anak sahabat saya. Kemarin ia memforward SMS ayahnya. Betapa kagetnya saya, isi SMS-nya benar-benar menyakitkan. Saya saja yang membaca merinding. Di samping ada kata “kurang ajar”, isi SMS bernada mengancam sama anaknya. Benar, ucapan itu tidak diucapkan secara lisan. Tapi cukuplah dikatakan, SMS itu wujud dari ucapan lisannya.
Ia curhat dalam sms-nya, “om.. saya akui salah, tapi smsx itu KETERLALUAN (huruf besar asli dari dia). Tapi gak apa-apa om..mungkin ayah sudah benci bgt sama saya.”
Tadi siang ia mengirim SMS lagi. “ Kok saya stelah dpt sms dr ayah…jadi kpkiran truz ya. Sulit u/ lupa, takut kayakx terancam.”
SMS terakhir yang ia kirim membuat saya terpaku. Ia betul. Ia pasti tidak bohong. SMS itu memang begitu menyakitkan. Tak salah, jika secara psikologis merasa tidak aman. Merasa ketakutan. Setiap membaca SMS itu, ia pasti membayangkan gesture orang tuanya.
Renungan
Lisan orang marah biasanya jarang terkontrol. Hal yang tak santun diucapkan begitu saja terlontar. Seperti orang kalap dan hati gelap, orang tua berbicara seolah kepada batu. Pada hal di hadapannya anaknya sendiri. Maka kata “kurang ajar” apun diucapkan.
Ia yakin, dengan kata kasar dan jauh dari kesantunan, anaknya akan berada dalam kontrolnya. Ia lupa. Anaknya butuh dihargai. Akhirnya justru berseberangan. Anaknya bukan menuruti, malah menjadi membangkang. Bahkan dalam derajat tertentu, justru “mati rasa” terhadap oran tuanya.
Dari kasus di atas saya berpikir, para orang tua perlu memiliki keterampilan mengelola emosi. Dalam kondisi marah, ia harus tetap tenang. Tidak panic. Dengan begitu, emosinya tak mudah meledak oleh kelakuan anak.
Salah satunya, ketika marah segeralah menjauh. Percuma berbicara ketika dalam kondisi marah. Saat reda barulah berkomunikasi. Carilah bahasa yang tidak menyakiti. Bahasa yang ramah. Tanpa kehilangan kekuatan untuk mengubahnya.
Harus diingat, ketika kita sering menjadikan lisan kita sebagai belati, sangat besar kemungkinan anak menjadi pendendam, minder, takut, terancam, ‘mati rasa’, dll yang akan menggangu bagi perkembangan kepribadian dan masa depannya.
Dan…satu kata saja kadang sudah cukup menjadikan anak ‘mati rasa’ sama ortunya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 30 april 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H