Wajah kesal sahabat saya tak bisa disembunyikan. Ia meminta saya untuk melihat foto-foto sahabat kami yang ia sudah simpan rapi dalam file terkunci di laptopnya. Ia buka sambil sesekali matanya menyapu sekitar. Hawatir ada orang yang mendadak datang.
Password dimasukkan. Tekan enter. Klik….dan… Doorr. Saya terpaku menatap sahabat saya sedang dipeluk seorang perempuan. Satu foto lagi –maaf—diciumnya. Diantara file foto yang begitu banyak, dua foto itu yang mengganggu saya.
Tetapi lokasi tempat berfoto juga mengganggu. Dilatari pemandangan laut, pantai, dan perahu kecil dua pasangan lain jenis itu narsis berfoto. Saya tidak tahu persis dimana lokasinya. Benar sahabat saya tidak sendiri. Ia membawa temannya. Sang perempuan juga membawa temannya.
Kenapa mengganggu? Sahabat saya ini sudah berkeluarga. Punya satu anak. Saya merinding melihat foto itu, karena langsung ingat keluarganya. Terutama ingat anaknya.
Saya tak bisa membayangkan, ketika ia berduaan bersama PIL-nya, anaknya merengek di rumah karena kangen belaian ayahnya. Kangen terhadap gendongan manja ayahnya. Kangen terhadap sapaan lembut ayahnya. Ketika ayah baru tiba di depan pintu rumahnya, anak sudah menghambur dalam dekapan ayah sambil meneriakkan nyanyian syahdu, “ayah datang...ayah datang…ayah datang…”. Anak. Inilah yang begitu menyita pikiran saya.
Lalu istrinya? Bukan berarti tak datang dalam pikiran saya. Saya juga empatik. Tetapi kadang suami yang suka menggadai –atau bahkan kadang jadi guyonan antar suami—sering bilang “sayang anak”. Artinya, istri dalam pandangan suami yang macam begini sudah “dikurangi” sayangnya. Malah sebagian ludes. Terbakar oleh nafsu suami sama rumput tetangga yang dirasa lebih hijau.
Saya tidak habis pikir, bagaimana sahabat saya bisa bersenang-senang dengan perempuan lain?Apalagi sahabat saya ditemani oleh seorang laki-laki yang saya tahu juga punya istri. Perempuan yang menemaninya juga punya suami. Okelah sekedar foto. Tetapi itu sudah cukup melukai pasangan dan anak.
Ah…begitu tipisnya batas kesetiaan suami. Mungkin juga istri. Entah apalagi komitmen yang bisa kita bangun. Entah apalagi media yang bisa kita gunakan untuk merawat kesetiaan. Saya hawatir, nanti ada biro jasa penggadaian kesetiaan. Para suami –atau mungkin juga istri—akan tergoda dan antri menggadaikan.
Menjaga kesetian terhadap pasangan sekarang ibarat memegang bara. Butuh kemauan dan bahkan kenekatan memegangnya. Sambil berusaha terus mendinginnya dengan hati yang bersih. Dengan pikiran jernih. Istri –atau mungkin suami—serta anak-anak menunggu kesetiannya. Juga Tuhan menyaksikannya. Inilah basis merawat kesetiaan. Kadang mudah diucapkan, tetapi tidak prakteknya. Semoga kita semua bisa.
Matorsakalangkong
Sumenep, 28 april 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H