Bulan April  seakan menjadi lokus bertemunya suka dan duka. Cerah dan kelabu. Tersentak saya. Begitu tipisnya batas antara menangis dan ketawa.  Batas yang hakikatnya refleksi dari keterbatasan manusia. Tuhan Kuasa atas segalanya.
Hari Jum'at, jam 21.30, 23 April 2004 yang lalu anak perempuan saya menangis keras mencari tempat hidup di bumi. Bersamaan dengan perjuangan akhir sang ibu yang berhasil merampungkan tugas mengandungnya. Masih terasa getarnya,  setiap teriakan istri seakan  menembus batas hidup dan mati. Di sinilah baru terasa, menjadi suami seolah tak ada maknanya.
Bayi lahir dan berhasil menjadi magnet. Merebut seluruh perhatian. Seakan putaran berhenti dalam jiwa sucinya. Keluarga dan sanak saudara merayakan justru di saat bayi sedang menangis, seperti ketakutan pada dunia yang masih asing. Mungkin dunia dirasakan tidak sama dengan rahim ibunya.
Dari rumah istri, saya kabarkan berita suka itu kepada ayah, ibu, kakak, dan adik. Semua begitu gembira. Malam itu seakan menjadi malam pengakuan seorang bayi perempuan lahir menjadi anggota baru keluarga besar saya.
Suara ayah digagang telpon tak menunjukkan beliau sakit, sebagaimana kabar yang malam itu juga saya dengar. Saudara-saudara tak mengirim kabar tentang sakitnya beliau. Saya pun meyakini, ayah sakit biasa. Paling panas, flu, masuk angin layaknya seorang sepuh yang sudah memasuki di atas usia 70-an.
Hingga hari sabtu, 24 april, satu hari setelah bayi mungil lahir, tak terbersit niat untuk segera melihat ayah. Saya begitu terbius oleh bayi mungil yang kemudian diberi nama Najmi al-Adiliyah. Adel, begitu panggilan kesayangannya. Nama ini sudah saya persiapkan bersama istri. Sebuah nama yang ingin menjadi sifat dan karakter bayi kecil itu, bintang keadilan.
adel, tak terasa saat ini sudah 8 tahun
Adel, bayi perempuan mungil, memberi makna begitu lekat dalam hidup saya. Ahai...sekarang saya sudah menjadi seorang ayah. Ya...ayah. Sebutan baru yang kadang masih ganjil dieja oleh telinga. Oleh kesadaran saya.
Pagi hari di hari minggu, 25 april, seperti tak kuasa menahan rindu segera bertemu ayah. Â Jam 07.00 wib saya pun berangkat pulang, setelah terlebih dahulu menyerahkan kebahagian sebagai orang ayah kepada bayi mungil yang belum berdaya itu. Saya pandangi dia. Saya tatap dia. Ah...aku menjadi seorang ayah.
Jarak 25 km, termasuk melintas pulau dengan perahu tongkang, tak lagi membuat saya lelah. Tak lagi membuat saya getir. Lahirnya bayi mungil seakan melipatgandakan semangat hidup saya. Kepada ayah, nanti akan saya jelaskan kebahagiaan ini. Bayi mungil cucunya. Proses kelahirannya. Wajah kemayunya. Pasti beliau akan bangun dan sakitnya sembuh kembali.
1 jam 20 menit perjalanan rampung. Segera saya menuju kamar ayah ketika sudah tiba di rumah. Bersama adik yang baru tiba dari Malang, saya mencium tangannya. Sama sekali saya tidak melihat ada tanda-tanda kematian dalam wajahnya.