Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Orang Tua Berantem, Kok Anak Kena Getahnya?

19 April 2012   15:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:24 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Maaf kawan..saya hanya ingin dia tidak menarik anak dalam konflik keluarga. Cukup itu diselesaikan berdua. Sayang, nampaknya dia bersemangat membangun kubu. Ia menarik anak –bahkan saudaranya—ke kubunya” Itulah SMS sahabat saya –yang sudah seperti keluarga— kemarin ketika saya menanyakan perkembangan masalah keluarganya. Saat ini, keluarganya sedang menjalani ujian berat. Bahkan sudah berujung ke perceraian.

Tanpa sepengetahuannya, saya kemudian chat via FB dengan anaknya yang sekarang sedang kuliah di luar daerah. Anaknya sedang bingung. Masalah keluarga sangat mengganggunya justru di saat ia sedang mempersiapkan diri ke Hongkong, mewakili kampusnya.

Saya hanya bisa bilang, “sudahlah focus saja sama persiapanmu. Om yakin kamu dewasa dan bisa menempatkan masalah orang tuamu secara bijak. Sepulang dari Hongkong, baru kamu nelpon ayahmu dan ibumu. Posisikan kamu secara netral. Fokuskan pembicaraan agar mereka bisa menyelesaikan masalahnya. Insyaallah akan ada jalan keluar” Sayang saya tidak bisa melakukan hal yang sama anaknya yang masih duduk di bangku SD.

Itulah sekelumit pengalaman sahabat saya yang sedang dirundung masalah. Kecenderungan orang tua menariknya dalam pusaran konflik keluarga, justru menjadikan masalah makin rumit.

Tidak Bijak…

Saya dapat pelajaran bermakna dari almarhum Ayah saya dan ibu yang saat ini masih sehat. Saya hingga dewasa tidak pernah melihat mereka sekalipun berantem di depan anak-anaknya. Pengalaman ini menjadi inspirasi bagi saya untuk merawatnya. Meski kadang tidak berhasil, saya dan istri bersepakat untuk tidak membuka konflik di depan anak kami.

Memang saya sadari tidak mudah melakukannya. Ada kecenderungan, ketika konflik dengan pasangan, terbersit keinginan untuk memperngaruhi anak berpihak. Entah kepada ayah atau ibu. Semakin konflik meninggi, semakin meninggi pula keinginan menariknya. Ingat kasus Dhani Dewa dengan Maya, anak telah mereka tempatkan di jantung pusaran konflik.

Pasti semua sepakat, tidak bijak menyeret anak terlibat dalam konflik keluarga. Apalagi anak mereka masih kecil. Alasannya sederhana. Konflik akan memberikan pengalaman buruk bagi perkembangan kepribadian mereka. Konflik itu akan menciptakan luka. Terekam kuat dalam alam bawah sadarnya. Ibarat singa buas yang sedang tidur, suatu saat konflik itu akan bangun dan mengaum.

Mungkin pengaruhnya tidak meledak di rumah. Ledakannya bisa muncul di lingkungan sekolah atau teman sebayanya. Bahkan ledakannya bisa tidak sekarang. Mungkin ketika ia dewasa di lingkungan kerjanya, atau justru ketika ia sudah berkeluarga.

Bagaimana kalau anak sudah remaja atau setengah dewasa? Tak perlulah juga kita mengumbar konflik keluarga kepadanya. Sekuat apapun ayah atau ibu untuk bersikap netral, penjelasannya pasti sulit keluar dari subyektivitas. Pasti akan bias.

Kalau ia mencium konflik? Kalau ia sendiri yang tahu, tak apa dijelaskan. Tetapi bersikaplah bijak. Misalnya, setelah ibu menjelaskan, bilanglah padanya, “ini hanya versi ibu…coba kamu tanya juga sama ayahmu..” Ketika ayah menjelaskan, lakukan hal yang sama. Dan …biarkan anak kemudian mengambil kesimpulan sendiri.

Ingat. Jiwa anak sangat rentan. Konflik –apalagi demikian hebatnya—hanya akan mengacaukan psikologi anak untuk memperoleh hidup aman, dihargai, dan dicintai. Saya pikir, usaha sekuat tenaga untuk meredam konflik agar tidak terdengar anak, adalah sikap orang tua dewasa dan bijak. Jadi tak perlu, orang tua berantem, malah anak dapat getahnya.

Saran saya, jika kebetulan berantem ada anak, berhentilah…Jika anak tidur, lanjutkan berantemnya.

Matorsakalangkong

Sumenep, 19 april 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun