Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siapa Bilang, Orang Miskin Dilarang Sekolah?

20 Agustus 2011   17:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_126760" align="aligncenter" width="500" caption="blog.ugm.ac.id"][/caption]

Siang hari (19/8) sehabis shalat jumat, ada tetangga yang mencari saya. Kebetulan ketika itu saya tertidur di mushalla di rumah ibu. Tetangga bilang, di rumah saya ada tamu yang sudah lama menunggu. Saya pun bergegas pulang ke rumah sambil menebak-nebak siapakah tamu saya itu. Siang hari di bulan puasa tak seperti biasanya ada tamu.

Tiba di rumah saya melihat seorang bapak kira-kira berumur 50 tahun sedang menunggu. Seorang bapak yang tidak saya kenal sebelumnya. Pakaiannya sangat sederhana. Ia berdiri dekat sepeda ontel tua miliknya. Saya belum bisa menebak berapa kilo meterbapak itu mengayuh sepeda ontel miliknya ke rumah saya.

Saya langsung menuju bapak di dekat sepeda ontelnya. Saya pun bersalaman.

bapak dari mana?”

“Dekat… dari desa Andulang,” jawabnya. Ah ternyata dekat, desa ini terletak hanya dua desa ke arah timur desa saya . jaraknya kira-kira hanya 3-4 km.

Bapak itu kemudian menjelaskan maksud kedatangannya. Ia bercerita tentang anaknya yang baru kelas X MA di madrasah kami. Ia menjelaskan bahwa ia tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan anaknya. Kepada anaknya sebenarnya ia sudah bilang, tak perlu melanjutkan sekolah. Tapi anaknya bersikukuh untuk terus sekolah.

“Karena itu, bisa tidak jika madrasah menanggung pembeayaan anak saya”, pintanya.

Di madrasah tempat kami mengabdi, siswa memang tidak dipungut SPP, karena sudah ditanggung APBD. Besarnya persiswa 45.000/bulan. Tidak besar memang. Tetapi sudah menjadi komitmen anggaran sebesar itu harus cukup. karena siswa di madrasah kami mayoritas anak dari kelarga tidak mampu. Bahkan dengan jumlah SPP sebesar itu, madrasah masih mampu mensubsidi seragam siswa.

Sementara bagi siswa yang betul-betul tidak mampu, buku paket disubsidi dari anggaran BKSM (bantuan keuangan untuk siswa miskin) yang kami peroleh dari APBD propinsi Jawa Timur. Ketika pelaksaan MOS saya memang bilang sama siswa kelas X, “meski Anda berasal dari keluarga tidak mampu, jangan menyerah. Ayo kita bangun mimpi dari madrasah ini. Jika Anda kesulitan misalnya membeli buku paket atau apapun yang menyangkut sarana belajar, jangan sungkan-sungkan menghubungi pihak madrasah. Anda tetap memiliki hak untuk bersekolah”, kata saya mencoba menyemangatimereka.

Rupanya anak bapak ini ingat sama ucapan saya. Makanya ia “menyuruh” bapaknya menemui saya untuk menagih janji.

“Baiklah bapak, madrasah siap menjamin seluruh beaya pendidikan bapak. Saya justru senang bapak sudah datang ke sini berkomunikasi langsung dengan kami untuk bisa mencari jalan keluar,” kata saya meyakinkan. Saya melihat wajahnya memancarkan kebahagiaan. Setidaknya, ia mulai saat ini tidak lagi meminta anaknya untuk berhenti sekolah karena tidak ada beaya.

“Tapi saya minta komitmen bapak”, tambah saya. “bapak perlu mendorong anak bapak paling tidak dalam tiga hal, (1) jangan pernah bolos (2)dorong untuk terus belajar (ini akan dilihat prestasi belajarnya) (3)kontrol pergaulannya. Bahkan saya nanti akan berkomunikasi dengan anak bapak untuk menyepakati komitmen ini. Bagaimana?,” Tanya saya.

“saya sepakat”, katanya mantap.

Akhirnya selama 1 jam saya terlibat diskusi menarik dengan bapak menyangkut pola kepengasuhan anak. Karena saya tahu, di desa bapak ini lingkungannya mulai kurang ramah terhadap pelajar/anak muda, karena banyak anak muda yang sudah mulai mabuk dan terjebak pada obat terlarang.

Kehadiran bapak ini mengingatkan kembali ingatan saya pada almarhum pendiri pesantren dimana madrasah kami bernaung, “Pesantren ini milik rakyat. Karena itu beaya masuk pesantren dan madrasah yang dikelola pesantren ini harus disesuaikan dengan kemampuan rakyat”, ucap beliau ketika masih hidup. Dan Alhamdulillah, dawuh beliau hingga detik ini masih menjadi roh dalam menjalankan proses pendidikan di pesantren yang siswanya mulai dari PAUD, TK, MI, MTs, dan MA sudah lebih 1.000 siswa.

Nah, siapa bilang orang miskin dilarang sekolah?

Matorsakalangkong

Sumenep, 20 Agustus 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun