Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Tangis Anak Pulau, Korban Pesona Jakarta

17 April 2012   03:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:31 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_175161" align="aligncenter" width="530" caption="anak panah menunjuk pada kecamatan talango atau dikenal pulau poteran,pulau terdekat dari sumenep (gambar:google map)"][/caption]

Kemarin siang saya kedatangan tamu dari sebuah pulau terdekat dengan kabupaten sumenep. Pulau dimana istri saya dilahirkan. Sebuah pulau yang dikelilingi laut dan didasari tanah tegalan tadah hujan. Tak ada pilihan di sana, selain melaut atau bertani. Dua pekerjaan yang saat ini sudah dicibir oleh anak muda karena dianggap tak bisa memperbaiki nasib. Selain kulit legam dan peluh yang tak berkesudahan. Sisanya tetap, KEMISKINAN.

Jika ada yang menikmati hasil laut, misalnya ikan teri kualitas bagus, itu hanya segelintir pengusaha yang sebagian tak tahu dari mana. Ada yan bilang pengusaha Jepang, mungkin karena kualitas terinya yang memang cocok diekspor ke jepang. Atau pengusaha local yang menjadi patner bisnis pengusaha “siluman”.

Karena hidup di pulau yang tidak lagi menjadi nirwana, muncul trend baru belakangan ini. Jakarta dengan pesona memikatnya menjadi tumpuan hidup baru. Maka, berbondonglah penduduk pulau ke sana, terutama anak muda yang bujang maupun sudah menikah. Pulau seolah hanya cocok menjadi hunian orang tua.

Ngapain ke Jakarta? Jadi penjaga warung. Jika punya modal beli warung dan dijaga sendiri. jika tidak punya , cukup menjadi penjaga milik tetangga atau kenalan tetangganya yang sudah lebih dulu ke Jakarta. Warung yang menjaja kebutuhan sehari-hari dianggap lebih menjanjikan ketimbang melaut dan mencangkul. Melaut dan mencangkul hanya menjadikan kulit legam dan keringat tak berkesudahan.

Anak-anak Itu…

Sambil menghirup kopi tamu saya menghadirkan sesuatu yang tersembunyi. Pesona Jakarta telah memakan korban. “Anak-anak kecil yang membutuhkan kasih sayang orang tua terpaksa diserahkan sama kakek-neneknya,” ucapnya penuh hawatir. “Atau dibawa ke Jakarta dengan menghentikannya sekolah,” tambahnya. Saya tidak perlu bertanya. Di Jakarta pasti anak itu tidak sekolah karena biaya sekolah mahal.

Saya jadi ingat teman saya –juga dari pulau itu— pernah bercerita tentang bayi yang masih berusia dua bulan ditinggal orang tuanya ke Jakarta. Saya tersentak. Begitu mempesonanya Jakarta. Begitu sialnya hidup di pulau seolah tanpa asa. Tapi saya tak mau menghakimi bahwa orang tua ini “jahat”. Seandainya kemiskinan tidak melilitnya, tak mungkin mereka terpikat oleh pesona Jakarta.

Tapi anak itu? Pasti orang tuanya sedih harus meninggalkannya. Pasti sang ibu muda tak henti-hentinya mencium sebelum menjemput impian di kota metropolitan. Cuma sayang, kasih sayangnya tidak bisa ditinggal. Kakek dan neneknya tak mungkin bisa menggantikan sepenuhnya posisi sang ibu dan bapaknya. Anak itu akan tumbuh dengan “kasih sayang” kakek neneknya. Kasih sayang yang kadang melampaui batas, karena siapapun yang namanya kekek-nenek atau embah, cenderung memanjakan anak. cenderung tidak memandirikan anak.

Dan…saya sudah melihat faktanya sekarang. Anak-anak ABG yang dulu juga ketika bayi maupun kecil ditinggal pergi oleh orang tuanya ke Jakarta, sekarang begitu manjanya. Soal kebutuhan lahir mereka tak repot. Tinggal mencet HP, orang tua di Jakarta sudah mengirimkan apa yang ia butuh. Termasuk motor-motor 250 CC yang harganya kisaran 30-50 juta, banyak bertebaran di pulau kecil itu.

Setiap hari gerombolan ABG yang orang tuanya di Jakarta nongkrong di jalanan. Pamer motor dan gadget baru. Tapi sayang mereka banyak yang berhenti sekolah. Sekolah dianggap buang-buang waktu, karena tidak secara instant bisa menyediakan kebutuhan perut. Kalau pun sekolah, semangat “hidup senang” mengalahkan semangat belajarnya.

Saya hanya terpaku menyaksikan generasi tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Gelimang materi memang membuatnya berbeda, tapi bagi kami orang dewasa dan para sepuh melihat mereka seperti orang asing. Mereka seperti sudah tercerabut dari akarnya.

Saya menduga generasi baru ini tumbuh terus. Mengingat orang pulau yang urbanisasi ke Jakarta seakan ibarat bah. Di pulau ini, hampir setiap hari orang ngomong Jakarta sehingga hampir tiap hari atau paling tidak minggu, ada saja orang pulau yang tertarik ke Jakarta.

Mungkin mereka korban dari system ekonomi yang dikelola Negara kita, kian liberal dan kian sangar sama orang pulau dan desa. Pertanian dan kelautan tak banyak memberikan harapan. Pada hal inilah basisnya. Makanya mereka terpukau ke Jakarta, meski keberangkatannya memendam bom waktu yang kian meruwetkan masalah social di pulau. Anak-anak tumbuh berkembang lepas dari akarnya. Ah…pulau yang tidak lagi menjadi nirwana.

Matorsakalangkong

Sumenep, 17 april 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun