Beruntung rumah saya suatu hari ditempatipertemuan komunitas guru yang haus untuk selalu belajar. Seorang kepala sekolah sebuah pesantren besar di kota saya membawa buku, Gurunya Manusia, yang menurutnya sangat bagus dibaca pegiat pendidikan. Gurunya Manusia merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya, Sekolahnya Manusia.
Karena malu pinjam, saya pun nitip sama suami ponakan saya yang kebetulan mengambil S3 di Yogyakarta. “Tolong belikan buku Sekolah Manusia dan Gurunya Manusia ya. Uangnya nanti diganti di rumah,” pesan saya melalui sms. Kedua buku yang saya pesan datang bersamaan dengan kepulangan ponakan saya.
Sekolahnya Manusia
[caption id="attachment_169747" align="aligncenter" width="300" caption="pengarang Munif Chatib,pengantar Hernowo,Kaifa Bandung,2009,187 halaman (foto:google)"][/caption]
Dua buku karya bapak Munif Chatib ini sangat inspiratif. Buku pertama berjudul “Sekolahnya Manusia” dan buku kedua “Gurunya Manusia”. Dua buku ini menawarkan pendekatan yang relative baru di Indonesia, yaitu Multiple Intelligences (MI) atau “kecerdasan majemuk”. Mungkinbagi sebagian guru, istilah MI sudah lama didengar. Tetapi yang membuat beda, di tangan pak Munif, MI Nampak “sederhana” karena Munif tidak cuma kaya teori tapi juga kaya pengalaman.
Dalam buku ‘Sekolahnya Manusia’, pak Munif cemas melihat perkembangan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah berdiri ibarat mesin yang menjadikan proses pembelajaran, target keberhasilan, hingga system penilaiannya didesain secara kering. Munif mengistilahkan sekolah model begini sebagai sekolahnya robot.
Apa sekolah robot itu? Sekolah yang dijalankan dengan paradigma tunggal. Para siswa disekap dalam satu system yang tidak memungkinkannya berkembang, malah justru sebaliknya, membunuh banyak potensi. Akarnya justru terletak pada cara pandang yang tunggal, bahwa siswa memiliki jenis kecerdasan sama dan menyikapi proses pembelajaran juga secara sama.
Cara pandang ini sebenarnya sudah bisa dilihat ketika sekolah menerima siswa baru. Kebanyakan sekolah menerapkan system rangking yang diperolehnya melalui test seleksi siswa baru. Kira-kira semua sekolah menyeleksi dengan ketat untuk memperoleh input yang baik. sekolah model ini percaya, the best input akan berdampak lurus pada the best out put. Sekolah model ini tidak begitu peduli pada the best process.
Berbeda dengan beberapa sekolah yang berbasis MI, tak ada seleksi masuk. Sekolah hanya tinggal menentukan kouta berapa murid yang akan diterima. Jika sudah sampai target kouta, pendafataran ditutup. Semua calon siswa diterima, termasuk siswa autis sekalipun. Sekolah hanya melakuan MIR (Multiple Intelligences Research) untuk menentukan kira-kira jenis kecerdasan anak termasuk keecerdasan linguistic, kinesthetic , matematis-logis, visual-spasial, musical, interpersonal, intrapersoanal, atau naturalis.
Sekolah yang berbasis MI dalam melakukan proses pembelajaran, target pembelajaran dan system evaluasinya agak berbeda dengan yang banyak dipraktekkan oleh system pendidikan di Indonesia. Yang paling menentukan, di proses pembelajaran dimana sekolah memfasilitasi SDM guru untuk menyusun lesson plan yang sesuai dengan jenis kecerdasan anak didiknya. Dalam buku ini dilukiskan secara menarik pengalaman banyak guru dalam menyusun lesson dan memperaktekkannya di dalam kelas terhadap anak didik yang memiliki jenis kecerdasan berbeda.
Ada seorang guru yang mengajak siswanya berenang untuk belajar matematika karena siswa itu memiliki kecerdasan kenestitis. Ada guru yang harus membawa kelinci dan macam binatang piaraan untuk memuaskan siswa yang memiliki kecerdasan naturalis.
Secara garis besar, dalam buku pertama ini munif menjelaskan bangunan dasarnya kenapa MI sangat penting sebagai jalan untuk menghidupkan sekolah dan semangat belajar siswa yang dalam realitasnya kian redup ini. Buku ini juga menjelaskan teori MI yang digagas Howard Gardner dan infrastruktur apakah yang harus dilakukan sekolah yang akan menerapkan MI.
Gurunya Manusia
[caption id="attachment_169748" align="aligncenter" width="480" caption="pengarang: Munif Chatib,pengantar: Anies Baswedan, Kaifa Bandung, 2011, 253 halaman (foto:google)"]
Selama ini banyak fakta guru justru membosankan. Guru tak mampu mendorong siswa untuk menjelajah pengetahuan yang tanpa batas. Guru hanya mengajar, dan tanpa mempertimbangkan apakah secara bersamaan siswa belajar.
Menurut munif, mengajar dan belajar merupakan dua kegiatan yang berbeda. Ketika seorang guru mengajar tidak secara otomatis siswa belajar. Nah di sinilah masalahnya. Banyak guru yang seolah yakin ketika mengajar siswa juga belajar.
Untuk menjadi gurunya manusia, seorang guru tidak sekedar selesai mengajar. Agar setiap pembelajaran selalu ditunggu siswa guru harus banyak belajar, meng-update pengetahuan dan metodologi pembelajaran, mengikuti pelatihan.Dalam bab pertama buku ini, munif banyak menjelaskan bagaimana siasat untuk meningkatkan mutu guru lengkap dengan pengalaman-pengalaman yang renyah dibaca.
Selanjutnya perlunya perubahan mindset bagi gurunya manusia dibahas secara detail di bab 2. Dalam bab ini munif menjelaskan bahwa sejak awal guru sudah harus memandang bahwa setiap anak adalah juara. Jika guru mendesain proses pembelajaran dan melakukannya sesuai dengan jenis kecerdasan anak tak ada anak yang tidak bisa.
Gurunya manusia itu adalah guru yang mengajar dengan hati. Guru yang selalu siap menjelajah kemampuan siswa, melihat segenap potensi siswa yang bisa dikembagkan. Termasuk dalam menyelesaikan masalah siswa yang butuh penanganan khusus, misalnya anak nakal, anak yang semangatnya rendah, anak yang tertinggal dari teman-temannya, seorang guru dituntut untuk sabar dengan melakukan discovering ability, menemukan kemampuan apakah yang dimiliki anak itu. Dasarnya, anak terlahir memiliki kelebihan. Ketika ditemukan kelebihannya, guru tinggal masuk dalam dunianya, dan mencoba menyelesaikan masalahnya.
Menarik dalam buku ini ketika menceritakan seorang guru yang butuh 3 bulan untuk mendekati –termasuk home visit— dan menyelesaikan masalah anak yang butuh penanganan khusus. Berdasar kemauan untuk selalu menjelajah kemampuan siswa, segenap masalah anak, termasuk yang menuntut penanganan khusu bisa diselesaikan.
Dalam bab selanjutnya, munif berbagi pengalaman bagaimana proses belajar mengajar dilakukan dengan menggunakan MI. Inilah penjelasan paling panjang dan menyita banyak halaman buku ini. Karena di sinilah sebenarnya jantung masalah yang hendak disampaikan munif dalam buku ini.
Yang penting dalam bab ini, tanpa bermaksud menafikan yang lain, adalah penjelasannya tentang perlunya guru secara kreatif membuat lesson plan. Dalam sistematika lesson plan yang memperoleh perhatian khusus dari munif adalah cara membuat scan setting. Di sinilah menurutnya kemampuan guru harus dikerahkan. Karena scan setting semacam pintu masuk, apakah siswa bersedia masuk dalam proses pembelajarannya atau justru akan keluar. Scan setting mungkin mirip apersepsi, meski contoh-contoh yang diberikan dalam buku jauh berbeda dengan pandangan dan praktek apersepsi yang biasa dilakukan guru.
Setelah scan setting yang kreatif berhasil dibuat, baru pak munif menjelaskan ragam strategi pembelajaran yang disertai dengan ilustrasi dan contoh menarik sebagai pengalaman langsung dari pak munif dan guru yang sudah mempraktekkannya.
Ada beberapa strategi pembelajaran yang dijelaskan dengan cukup detail di sini misalnya strategi action research, diskusi, klasifikasi, analogi, identifikasi, sosiodrama, penokohan, flash-card, gambar visual, papan permainan, wayang, applied learning, movie learning, environment learning, service learning. Sekali penjelasan strategi pembelajaran ini lengkap dengan media bahkan contoh berdasar pengalaman langsung dari guru yang mempraktekkannya.
Di bagian akhir buku ini, munif berbagi tips menarik tentang cara membuat lesson plan kreatif. Termasuk dengan struktur dan bentuk lesson plan yang tentu saja tidak final, tetapi bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan sekolah.
Satu hal, buku ini meski saya lambat membelinya dan meresensinya, bagi saya pribadi sangat inspiratif. bahkan ketika saya share kepada teman-teman saya, banyak yang mengakui sama. Bahkan di madrasah tempat mengajar, para guru berkumpul membahas gagasan buku ini dan bersama-sama membuat lesson plan yang sungguh jauh berbeda dengan lesson plan (RPP) yang biasa diterima guru dari birokrasi pendidikan.
Saya berani merekomendasikan buku ini sangat bermanfaat terutama bagi guru dan bagi siapapun yang menaruh kepedulian untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
matorsakalangkong
Sumenep, 20 maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H