Saat alarm HP berbunyi, saya langsung bangun. Saya lihat jam sudah menunjuk pada angka 04.16. “Pasti telat nih ke blogshop kompasiana,” bathin saya. Pada hal men-set bunyi alarm jam 04.00. Kok bunyinya malah lambat 16 menit? Dengan agak kesel, saya cepat ke kamar mandi. Melawan hawa dingin, saya guyur badan dengan air. Saya sudahi dengan mengambil wudlu’.
Habis shalat subuh, saya langsung SMS sama Hadariadi –teman yang sudah janjian mau datang ke blogshop—agar saya ditunggu. Maklum, untuk ke rumah mas Hadariadi –di kota Sumenep— saya harus naik motor menempuh jarak 15 km. Baru dari kota saya naik transportasi ke Surabaya.
‘Bonek’ ke Blogshop
Blogshop di Surabaya kali ini memberi pengalaman ‘menarik’ bagi saya. Saya datang ke blogshop –yang didukung IB ini—benar-benar ‘bondo nekat’ (bonek). Pertama, inilah kali pertama saya bolos dari kegiatan madrasah, di saat madrasah sedang melaksanakan UAM (Ujian Akhir Madrasah) bagi kelas akhir. Saya minta bantuan teman guru untuk menggantikan saya. Sementara saya, tentu dengan pamit baik-baik, minta ijin ikut blogshop. Mungkin karena saya blogger, jadi tak ada yang melarang. He..he…
Kedua, inilah pengalaman saya ke surabaya dengan ongkos paling mahal. Saat tiba di tempat ngetem travel, jam sudah menunjuk angka 06.00. saya lihat penumpang masih satu. Tambah saya dan mas hadariadiberarti masih tiga. Jam terus meluncur. Kehawatiran terlambat datang ke blogshop makin membayang. Hingga jam 06.30 travel belum ada tanda-tanda mau berangkat.
Kira-kira jam 06.45 supir bilang, “maaf ya mas…karena penumpangnya tiga, kayaknya gak bisa berangkat ke Surabaya. Bisa tekor saya. Biar mas saya antar ke terminal, naik bis saja”
“Wah ini gimana, saya lambat dong datang ke acara”
“Atau gini saja, mas bisa saya antar ke Surabaya, kalau mas nambah. Ongkosnya saya tarik 100 ribuan. Gimana?”
Waduh, harga normal 60 ribu, jadi 100 ribu nih. Tapi kalau naik bis pasti lambat, bisa 4 jam-5 jam baru sampaiSurabaya. jika berangkat jam 7, bisa jam 12.00 tiba di Surabaya. Tidak ada pilihan lain, karena travel ini yang terakhir, kami terpaksa menyepakati 100 ribu. Jadilah kami berangkat bertiga, ditambah supir dan kenek, berarti lima.
Jam 09.45 menit saya sudah masuk daerah Surabaya. Jarak hampir 200 km Sumenep-Madura, termasuk dengan rangkaian macet di beberapa titik, terutama pasar, hanya ditempuh kurang dari 3 jam. Tapi baru tiba di gedung BI, jam sudah menunjuk angka 10.30 menit. Berarti saya lambat setengah jam dari jadwal yang direncanakan panitia.
Menjadi Penulis dengan Spirit ‘Bonek’
Kalau mendengar kata Surabaya, yang muncul pertama dalam ingatan sebagian orang adalah boneknya. Bonek adalah akronim dari “bondo nekat” alias modal nekat yang melekat pada supporter Persebaya. Saya mengambil spiritnya, bonek itu saya maknai kesungguhan, konsistensi, kerja keras atau dalam bahasa N5M, man jadda atau orang yang sungguh-sungguh.
Inilah hikmah bertebaran yang saya pungut dari pengalaman, terutama mas Fuadi, yang kurang lebih sekitar dua jam sharing tentang proses kreatifnya menulis novel N5M. Tetapi sebelum mas Fuadi, nara sumber yang tampil dan telat setengah jam saya ikuti, seorang Kompasianer yang berprofesi sebagai guru, dosen, dan penulis buku ajar yaitu mas Johan Wahyudi.
[caption id="attachment_169411" align="aligncenter" width="448" caption="Bu Ari, mas johan, Mas Isjet, Omjay, dan Mas Arif berpose setelah acara sesi perdana (foto :pinjam di lapak mas johan)"][/caption] Saya awalnya kaget, karena mas Johan tidak ada dalam manual acara blogshop. Karena telat, saya tidak utuh menangkap tebaran ilmu dari mas johan. Tetapi mas johan banyak memberi motivasi, terutama belajar dari pengalamannya menjadi penulis buku ajar.
Sayangnya, mas johan tidak banyak menyinggung cara, kiat, dan tips menulis. Yang disampaikan terkesan sangat umum. Kurang menukik dalam menjelaskan pengalamannya sebagai penulis buku. Sepertinya mas Johan lebih cocok kemarin disebut sebagai motivator yang membuncahkan semangat peserta untuk menjadi penulis buku. Jadi penulis, kira-kira harus menjadi ‘bonek’ atau bahasa mas Johan, harus tekun.
Setelah rehat untuk shalat dan makan siang, nara sumber yang paling ditunggu Ahmad Fuadi tampil. Tepuk tangan panjang mengiringi langkahnya. Sesuatu yang mungkin ketika menulis novel tidak pernah terbayang sama mas Fuadi sendiri. Bahkan sebelum tampil, mas Fuadi dikepung oleh kompasianer mulai sekedar menyapa, foto bareng, sampai minta tanda tangan.
[caption id="attachment_169409" align="aligncenter" width="448" caption="dokumen pribad"]
[caption id="attachment_169421" align="aligncenter" width="640" caption="4 pertanyaan kunci (dok pribadi)"]
Pertama, menulis harus dialasi niat, untuk apa menulis? Bagi mas Fuadi, menulis adalah menebar kebajikan. Menulis adalah jalan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Makanya mas Fuadi selalu menyitir kata bijak Sayyid Qutb, “peluru hanya bisa menembus satu kepala, tetapi tulisan bisa menembus jutaan kepala”. Nah, karena kekuatan tulisan inilah, kita perlu manafasi tulisan dengan roh kebajikan dan menebar manfaat kepada banyak orang.
Kedua, menulislah apa yang paling membekas dalampengalaman kita. Novel N5M lahir berdasar atas pengalaman mas Fuadi yang mengharu biru di pesantren Gontor. Satu pengalaman riil pendidikan karakter yang mengubah hidup mas Fuadi. Ketika menulis, mas Fuadi tidak membaca selera pasar, bukunya mau laku atau tidak. Ia hanya menulis sesuai matahatinya. Menulis dengan mata hati akan menyenangkan. Dan tulisan yang lahir dari hati yang riang, akan melahirkan tulisan yang kuat dan dalam.
Ketiga, lakukan riset, cari referensi, buka dokumen atau pun yang memungkinkan kita cukup amunisi untuk menulis. Dalam menulis novel N5M, mas Fuadi mencari lagi segala arsip yang ia simpan misalnya, surat yang ia kirim kepada emaknya, foto kenangan, buku pelajaran dan buku tulis sejak ia masuk gontor hingga keluar, termasuk berburu kenangan terhadap teman-teman seangkatannya di Gontor. Semua arsip itu, menurutnya, akan memberikan sense dan menjadi jalan untuk memunculkan kembali kenangan lama secara kuat.
Keempat, banyaklah berdiskusi dan meminta umpan balik terhadap teman. Mas Fuadi ketika menentukan judul novelnya, ia meminta masukan sama teman-teman dan ustadz-ustadznya di Gontor. Dari puluhan yang masuk kemudian ia seleksi menjadi 10, menjadi 5, dan kemudian ia tetapkan sebagaimana judul novel yang sekarang.
Kelima, jangan tunda, lakukan sekarang juga. Jaga konsistensi untuk menyicilnya setiap hari meski hanya satu paragraph. Istilah mas Fuadi, “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi buku”
Keenam, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil. Ketekunan, konsistensi, kerja keras, atau istilah saya ‘bonek’ adalah modal yang tak boleh hilang. Tak ada usaha sekali jadi. Ia butuh proses dan keinginan untuk selalu belajar. Menurut mas Fuadi, novelnya baru bisa dirampungkan setelah ia menulisnya hampir 1,5 tahun.
Tanpa terasa hampir dua jam mas Fuadi sharing pengalaman. Setelah selesai mas Fuadi masih disibukkan oleh permintaan Kompasianer yang ingin foto bareng, minta tanda tangan, atau sekedar ngobrol.
[caption id="attachment_169413" align="aligncenter" width="448" caption="dikelilingi bidadari (dokuen pribadi)"]
Pulangnya juga ‘bonek’
Acara blogshop ini diakhiri dengan foto bersama. Sebelum pulang saya pamitan sama kompasianer yang sudah saya sudah cukup kenal di Kompasiana. Saya jabat tangan mas Chairon, Om Jay yang jauh-jauh datang dari Bekasi, mas arif, mas Iskandar, mas selamet Hariadi, dan mas Junaedi Jun. 3 yang terakhir sudah saya kenal sejak blogshop di Malang.
[caption id="attachment_169423" align="aligncenter" width="448" caption="dari kanan, mas is, om jay, selamat, dan junaedi lagi ngobrol"]
Matorsakalangkong
Sumenep, 18 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H