Salah satu tujuan orang melangsungkan pernikahan karena ingin memiliki keturunan. Tak lengkap rasanya menikah tanpa celoteh si buah hati. Kehadiran anak boleh dibilang sebagai penyempurna sebuah pernikahan.
Saya jadi inget ketika dulu menikah. Baru beberapa bulan menikah langsung diberondong pertanyaan, “kok belum ada hasilnya?”. Terus terang kadang saya kesal. Belum menikah, selalu ditanya kapan menikah. Baru sebulan menikah, sudah ditanyakan kapan mau produksi. Sudah punya anak masih ditanyakan lagi, kok baru satu.
Uniknya, dalam kultur kita persoalan punya anak ini seperti persoalan public. Coba lihat ketika kita ketemu teman lama, pasti pertanyaan yang muncul, “berapa jumlah anakmu?” Pertanyaan ini sangat lazim. Meski bagi orang yang tidak punya anak terasa seperti menghakimi.
Bagi pasangan yang belum punya anak, apalagi usia pernikahannya cukup lama, kadang menjadi alasan untuk bercerai. Biasanya, yang menuntut bercerai yang banyak dari suami. Ini berbanding lurus dengan asumsi masyarakat, sang istrilah yang salah jika pasangan tidak memiliki keturunan. Asumsi ini saya pikir sangat tidak adil. Melukai istri. Melukai kaum perempuan.
Tetapi, apakah karena tidak punya anak, lalu kemudian bercerai? Jika menikah sekedar untuk memiliki keturunan, mungkin akan menjawab ia. Tetapi jika menikah bertujuan untuk mencari ‘kebermaknaan hidup’, menenangkan jiwa yang bergolak, dan mencari keseimbangan hidup sebagai pasangan lain jenis, tentu akan berbeda. Suka-duka dalam pernikahan pasti akan dilewati bersama, termasuk kemungkinan tidak punya anak.
Belajar dari Pengalaman Orang Lain
Saya punya kenalan. Hampir 25 tahun pasangan ini menikah, belum juga dikarunia anak. Pernah sekali sang istri melahirkan, tetapi bayinya lahir premature dan memiliki hambatan fisik, kemudian meninggal. Setelah itu tidak pernah hamil lagi.
Saya melihat, meski tanpa anak, hubungan mereka justru makin matang. Mungkin karena karakter sabar yang memang mereka miliki. Semua saya mengenalnya dengan baik. Sang istri dan suami memang dikenal sebagai sabar dan tidak pernah saya dengar memiliki masalah terhadap tetangga maupun koleganya
Tetapi, inilah keadilan Alllah. Ibu yang dikenal sangat sabar ini, justru menjadi ibunya anak-anak. Pagi hari, ia harus mendidik anak-anak TK. Kebetulan ia dipercaya menjadi kepala. Sementara malam hari, selepas maghrib, anak-anak sudah berkumpul di rumahnya untuk diajari membaca Al-Qur’an. Ia melakukannya dengan ikhlas dan tanpa lelah bersama suami tercintanya.
Anak perempua saya yang sekarang kelas 2 MI, ketika TK dididik sama ibu ini. malamnya, hingga sekarang, juga mengaji sama ibu ini. Pernah suatu hari anak saya bilang begini, “ba…. kok adel belum pernah melihat ibu Mimin marah ya?” Pertanyaan menusuk. Satu sisi memuji gurunya, tetapi sisi lain menusuk saya dan istri yang memang selalu marah.
Saya yakin, seperti layaknya keluarga yang lain, pasti pasangan ini pernah berkonflik karena persoalan tidak punya anak. Tetapi akhirnya, pasangan ini justru bijak melihat kenyataan, setelah kemana-mana therapy dan tidak membuahkan hasil, Mereka menerima kekurangan satu sama lain. Karena mereka yakin, masih banyak kelebihan yang mereka miliki sehingga mereka tidak pernah terlintas untuk bercerai.
Saat ini mereka bahagia, karena sang istri justru menjadi ibu semua anak. Dalam pengalaman saya, tak pernah saya melihat ada anak yang tidak suka sama ibu ini. Semua suka, semua senang. Karena ibu ini di samping sabar, juga telaten dan penuh perhatian.
Jadi, bagi pasangan yang belum atau mungkin tidak akan punya anak, tak perlu terburu-buru mengambil keputusan bercerai. Masih banyak jalan untuk menjadi ibu bagi anak-anak seperti yang dilakukan ibu yang saya kisahkan ini.
Matorsakalangkong
Sumenep, 14 maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H