[caption id="attachment_136220" align="aligncenter" width="533" caption="google.com"][/caption]
Isu diskriminasi kebijakan pendidikan terhadap sekolah negeri-swasta, beberapa hari ini mengemuka kembali. Persoalan ini sebenarnya masalah lama. Tapi masalah ini kembali menghangat ketika MK mengabulkan tuntuan hak uji materi pegiat pendidikan terhadap pasal 55 ayat 4 UU Sisdiknas tahun 2003. Kata “dapat” dalam klausul “pemerintah dapat membantu sekolah-sekolah swasta” diperintahkan oleh MK diganti dengan kata “wajib”.
Sebagai seorang guru yang mengajar di madrasah swasta, saya tahu betul bahwa diskriminasi itu benar adanya. Diskriminasi ini saya menganggapnya sebagai “karakter” atau menjadi mindset birokrasi pendidikan. Meski UU Sisdiknas mengamanatkan negara tidak boleh memperlakukan satuan pendidikan negeri-swasta secara diskriminatif, tetapi faktanya tidak semanis itu. Apalagi di daerah, dimana control terhadap kebijakan pendidikan berikut birokrasinya demikian lemah.
Diskriminasi itu Nyata, 5 Hal Pengalaman pribadi
Dalam tulisan ini saya ingin share bagaimana diskriminasi itu terjadi. Apa yang saya ceritakan sepenuhnya adalah pengalaman pribadi. Sebagai guru madrasah, saya lebih banyak share pengalaman saya tentang diskriminsi di kemenag.
Pertama, kecenderungan birokrasi pendidikan –baik kemendiknas maupun kemenag— menempatkan lembaga pendidikan sebagai sub-institusi dari mega struktur kemendiknas dan kemenag. Akibatnya pola relasi yang dibangun sangat top-down. Kemendiknas dan kemenag yang seharusnya menjadi fasilator dalam proses kependidikan berubah menjadi lembaga yang selalu mengintervensi bahkan menguasai lembaga pendidikan.
Dalam pola relasi seperti ini tak mungkin ada dialog. Bahkan ketika ada guru yang memilki pandangan berbeda atau mempertanyakan kebijakan birokrasi pendidikan ditempatkan sebagai “common enemy”. Terkadang dampaknya tidak hanya pada guru yang kritis itu, tetapi berimbas pada lembaga pendidikan dimana guru itu mengajar.
Saya pernah terlibat perdebatan dengan Kemenag. Saya waktu itu mengusulkan agar pertemuan di kemenag lebih produktif dari sekedar membicarakan persoalan tehnis-administratif pendidikan. Saya usul, misalnya workshop untuk menyusun blue print madrasah dalam rentang 15 tahun ke depan. Tapi apa jawaban kemenag waktu itu? Marah. Malah ada yang bilang begini, “baru beberapa kali saja ikut pertemuan, sudah mengkritik yang enggak-enggak.”
Kedua, pandangannya yang melihat sekolah negeri hebat, sementara swasta payah. Guru negeri professional, guru swasta tidak. Akibat pola pikir yang seperti ini, negeri kemudian ditempatkan sebagai rujukanutama dalam pengelolaan pendidikan. Swasta harus mengekornya. Bahkan dalam soal ujian semester saja, swasta harus membeli soal pada sekolah negeri.
Dalam masalah ini saya punya pengalaman tidak mengenakkan. Bersama 4 madrasah lainnya, kami berinisiatif membuat soal ujian semester sendiri. Upaya kami ternyata menuai masalah. 4 Madrasah yang bikin soal ujian semester sendiri dikelurkan sebagai anggota KKM (kelompok Kerja Madrasah), semacam MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) kalau di kemendiknas.Keputusan ini resmi karena dikeluarkan oleh coordinator KKM yang kebetulan kepala sekolah madrasah negeri.
Persoalan ini memanas. Kemenag malah berpihak pada keputusan KKM. Akhirnya kami minta audiensi sama kemenag. Meski masalahnya clear dan madrasah kami tidak jadi dikeluarkan, tapi kemenag seperti kebakaran jenggot, karena upaya kami membuat soal sendiri dianggap pembangkangan.
Ketiga, diskriminasi dalam penyediaan/pengembangan infrastruktur. Dalam masalah ini, jelas sekolah negeri sangat diuntungkan. Semua sarana seperti gedung/ruang kelas, ruang guru, serta fasilitas penunjangnya seperti ruang perpustakaan berikut pengadaan bukunya, MCK, sarana dan media pembelajaran, ruang dan sarana IT, dsb lengkap memperoleh penganggaran yang cukup dari negara.
Jika swasta? Berdasar pengalaman saya, madrasah kami tidak pernah memperoleh bantuan apapun yang terkait dengan pengembangan infrastruktur apa pun. Semuanya mulai sejak pendirian ruang kelas baru (RKB), perpustakaan, sarana dan media pembelajaran dsb. dipenuhi secara mandiri. Dana untuk ini diperoleh dari para alumni yang kepeduliannya kepada madrasah sangat tinggi. Di samping yayasan juga memiliki usaha-usaha produktif.
Ketiga, diskriminasi dalam kebijakan anggaran. Semua tahu bahwa sekolah negeri untuk biaya rutin dan operasional seperti kertas, tinta, bayar listrik telpon, dan air, langganan Koran, biaya perjalanan dinas untuk kepala sekolah, mamin (makan minum), dsb. sepenuhnya dibiayai negara. Barangkali bisa disebut, mulai sejak “yang besar” hingga urusan “tetek bengek” semua dijamin negara. Anggaran ini tentu saja tidak termasuk pendapatan mereka dari BOS. Atau sebagian mungkin masih mengenakan sumbangan dari wali murid.
Ini berbeda dengan swasta. Pendapatan lembaga swasta –misalnya madrasah kami—hanya diperoleh dari BOS untuk tingkat MI/MTs. Sementara MA hanya memperoleh anggaran BBP (Bantuan Biaya Pendidikan) dari APBD. Uang ini digunakan untuk membiayai seluruh pembiayaan pendidikan, mulai gaji guru, subsidi untuk siswa dalam bentuk buku, pakaian seragam, kegiatan ekskul dsb, termasuk juga untuk memenuhi biayai rutin dan operasional.
Dua kasus di atas (kedua dan ketiga) menjelaskan kepada kita bahwa perlakuan negara terhadap sekolah negeri-swasta benar-benar sangat timpang. Meski sama-sama menjalankan missi “mencerdaskan anak bangsa” faktanya diperlakukan berbeda.
Keempat, informasi apa pun, misalnya beasiswa S2 untuk guru, workshop untuk guru, lomba untuk siswa, dsb. seringkali tidak sampai pada sekolah-sekolah swasta. Kalau pun sampai, biasanya sama sekolah yang manut dan memiliki hubungan khusus dengan birokrasi pendidikan. Sementara bagi sekolah yang dianggap membangkang, jangan harap bisa memperolehnya. Sering di madrasah kami memperoleh informasi tentang banyak hal justru dari madrasah lain yang tahu lebih dulu.
Kelima, jika memperoleh bantuan dari negara, seolah itu bantuan dan budi baik dari birokrasi pendidikan. Pada hal itu adalah hak semua lembaga yang dijamin undang-undang. Bahkan dalam kasus tunjangan sertifikasi pun, seringkali terselip omongan, seolah tunjangan itu hasil kerja, bantuan, dan budi baik mereka. Terus terang, secara pribadi saya kadang risih menerimanya. Di mata birokrasi pendidikan, guru swasta dianggap sebelah mata.
Saya berharap negara serius menghapus diskriminasi ini. Dan kepada kawan-kawan guru, mari kita berteriak ketika diskriminasi itu ada. Control itu penting. Salam anti diskriminasi.
Matorsakalangkong
Sumenep, 11 oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H