[caption id="attachment_135631" align="aligncenter" width="644" caption="kompasiana.com"][/caption] Bulan oktober ini terhitung satu tahun sudah saya bergabung di Kompasiana. Satu perjalanan yang tidak mudah, tetapi menggairahkan. Saya bilang tidak mudah, karena di tengah kesibukan saya sebagai guru dan dosen saya harus meluangkan waktu untuk menyalurkan hobbi saya, menulis. Apalagi saya hidup di kampung, satu lokus yang masih menghargai interaksi riil yang hangat, face to face, spontan, dan langsung. Jika saya berlebihan terperangkap dalam dunia maya, tetangga saya pasti akan kabur.
Tentu banyak cerita mengiringi perjalanan satu tahun saya di Kompasiana. Jika mengingatnya kadang tertawa sendiri. Saya tahu Kompasiana karena saya selalu membuka situs kompas.com. Awalnya saya menerka, Kompasiana sama dengan Indonesiana di Majalah Tempo yang biasanya berisi seputar cerita-cerita ringan dan lucu. Ketika saya klik, teryata dugaan saya keliru. Tapi saya ketika itu tidak tahu kalau Kompasiana merupakan “blog keroyokan”. Saya sendiri belajar nge-blog juga relative baru, sejak tahun 2009, satu tahun sebelum bergabung di kompasiana.
Saya bergabung dengan Kompasiana setelah membaca tulisan sahabat saya yang waktu itu masih belajar di Nurwegia, namanya Muhammad Mushthafa. Ia menulis tentang keindahan Tarian Aurora yang ia share di facebook. Saya mengontaknya, menanyakan bagaimana cara bergabung dengan kompasiana. Atas advice dia, saya pun tahu cara bergabung, meski dalam praktiknya ternyata tidak mudah, kerena saya sebenarnya “gatek”. Lihat saja url frofile saya di kompasiana, mungkin paling aneh, www.kompasiana.com/www.kompasiana.com-dardiri
saya bergabung dengan kompasiana, terhitung sejak tanggal 17 oktober 2010, tapi baru memposting tulisan pertama saya pada tanggal 28 oktober. Rentang waktu yang lumayan lama dari saya bergabung ke memposting tulisan pertama, sebenarnya gambaran kebingungan saya. Ternyata bagi orang yang gatek seperti saya, urusan meng-upload foto saja susahnya setengah mati.
Sebelum bergabung dengan Kompasiana, saya facebooker. Di samping sering nulis status, saya sering men-tag tulisan di facebook. Sejak kenal dengan kompasiana, saya males berfacebook ria. Pengalaman ini saya tulis, Kompasiana Rumah, FacebookTetangga, yang teryata menjadi HL pertama tulisan saya.
Begitu bergairahnya menulis di kompasiana, hingga sering di awal-awal perjumpaan, saya harus tidur jam 1 atau jam 2 dini hari demi kompasiana. Dari saking kesalnya, istri saya sampe “mengancam”, “awas ya modemnya kalau hilang nanti.” Tapi dasar cinta, kompasiana bagi saya ibarat istri kedua. Ya, tetap saja di awal-awal saya susah berpisah jauh dengan Kompasiana.
Seiring perjalanan waktu, saya sudah bisa lebih bijak berkompasiana. Saya bisa menjalankan banyak peran, ya sebagai kompasianer, ayah, suami, mengajar, dan bertetangga tanpa harus ada konflik peran. Meski saya sadar, saya berkompasiana lebih banyak share-nya ketimbang interaksinya. Hal ini bukan karena saya tidak ingin berinteraksi dengan para kompasianer , tapi karena saya harus bisa membagi waktu sebagai konsekuensi dari peran lain yang harus saya lakonkan. Karena itu, saya mohon maaf kepada para kompasianer .
Terus terang , perjalanan satu tahun telah banyak yang saya peroleh di Kompasiana. Yang pertama tentu saja teman, para kompasianer yang darinya saya banyak belajar. Saya juga bersyukur kerena sejak bergabung kecintaan saya terhadap dunia menulis makin kuat. Saat ini yang ada di pikiran adalah, menulis, menulis, dan menulis.
Saya menganggap Kompasiana adalah “Indonesia mini”. Wajah Kompasiana ya wajah Indonesia. Dalam bayangan saya, Kompasiana bisa menjadi rumah bersama sesama anak bangsa, lokus menganyam imagi kebangsaan yang saat ini sudah retak. Dan saya yakin kita bisa (bersambung)
Matorsakalangkong
Sumenep, 7 oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H