[caption id="attachment_159794" align="aligncenter" width="567" caption="diunduh dari google"][/caption]
Sering saya menyaksikan orang seakan tidak menerima kalau orang lain itu bahagia. Bahagia yang saya maksud di sini ketika orang lain itu tercapai keinginannya. Misalnya, bisa membangun rumah, membeli mobil, beli perabotan baru, anaknya memperoleh juara, sukses berbisnis, sukses study, promosi jabatan, dsb.
Pernah saya menyaksikan ada orang yang tak bertegur sapa gara-gara tetangganya lebih tajir. Tokonya makin besar. Rumah luas dan bertingkat. Di garasinya terpajang sebuah mobil baru. Saya sampai kasihan melihatnya. Orang ini yang biasa lewat samping tetangganya, terpkasa harus mengambil jalan memutar hanya untuk menghindar dari tetangganya.
Tak cukup dengan tetangga itu, saudara-saudara tetangganya yang tak tahu apa-apa juga tidak disapa. Meski rumah berdekatan, komunikasi antar tetangga sepi. Meski konfilknya tidak sampai terbuka toh tetap saja kurang elok. Malah konflik yang terpendam ibarat bom waktu, tinggal menunggu momen tepat untuk meledak.
Inilah masalahnya. Kebahagian orang lain selalu dipandang sinis. Malah kadang lebih dramatis. Ketika bertemu dengan siapa saja selalu menyebarkan berita dengan membumbui aneka ragam gossip yang melebihi takaran beritanya. Seakan tak sudi melihat orang lain bahagia.
Kenapa Wajah Tak Berseri?
Saya merasakan begitu menderitanya orang yang terbebani melihat orang lain bahagia. Sudah tidak merasakan kebahagiaan orang lain, malah ditambah dengan beban mikirin orang lain. Bukankah ini beban ganda?
Setiap hari pikirannya diteror oleh kebahagiaan orang lain. Kemampuannya untuk keluar dari beban pikirannya nyaris lumpuh. Lama-lama keseimbangan tubuhnya akan terganggu. Prosesnya dimulai dari ketumpulan hati, kebekuan pikiran, dan akhirnya kelumpuhan tubuh. Makanya banyak orang yang kesehatannya terganggu karena hati dan pikirannya tidak bahagia. Hidup pun menjadi tidak tenang.
Satu hal , orang lain selalu dianggap ancaman. Selalu dianggap pesaing. Ketika persepsi terhadap orang lain seperti itu, maka wajar jika orang semacam ini mulai pasang kuda-kuda untuk kepentingan self defense. Orang lain adalah “musuh”. Karena musuh tak boleh ia bahagia. Sebaliknya, ia harus terus menderita.
Jadi, jika ada ada orang yang memasang wajah sinis melihat orang lain bahagia, akarnya ada pada hati yang diselimuti iri dan dengki. Sifat ini dalam agama dianggap seperti tumpukan kayu bakar yang dilalap api, yang selalu menjadikan hati mendidih saat membangun relasi dengan orang lain, terutama yang dikarunia kebahagiaan.
Nah, jalan keluarnya bagaimana? Mudah diucapkan tetapi sungguh sulit melakukannya. Ketika melihat orang lain bahagia, cukup ucapkan Alhamdulillah. Meski sulit, harus dipaksa. Sambil mengucapkan, resapi hingga ucapan itu memenuhi ruang paru-paru, ikut tarikan nafas kita, dan akhirnya menyemburkan hawa dingin ke seluruh anggota tubuh kita. Memang mengucapkan Alhamdulillah bukan semata gerak lisan, yang bagus sekaligus gerakan hati. Tetapi mengucapkan di lisan saja masih mending ketimbang tidak sama sekali.
Petuah ini bukan dari saya. Saya hanya menuliskan petuah guru saya. Saya meski melakukannya, tapi belum menggetarkan bathin saya. Mungkin karena bathin saya penuh debu, hingga ucapan itu baru bergetar jauh di luar permukaan. Tetapi saya harus tetap melakukannya. Berkali-kali. Rugi bagi saya, jika justru menderita di saat orang lain bahagia.
Matorsakalangkong
Sumenep, 2 pebruari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H