Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wawancara dengan Pimpinan Syiah Sampang: ”Saya Tak Mau Direlokasi”

1 Januari 2012   02:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:30 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_153063" align="aligncenter" width="512" caption="ustadz Tajul memegang HP, pake sarung dan kaus loreng berkerah"][/caption]

Kemarin (31/12), sebelum tiba di Sampang, pikiran saya sudah dipenuhi kecemasan. Hawatir suasananya masih mencekam . Ternyata dugaan saya salah. Di dalam kota masyarakat masih beraktivitas seperti biasa. Di sana-sini nampak penjual terompet yang mengais rizki menyambut pergantian tahun.

Memang, di beberapa sudut tampak polisi berjaga-jaga. Tetapi tidak terlalu banyak. Maklum lokasi kejadian pembakaran rumah ustadz Tajul Muluk jauh dari kota, tepatnya di kecamatan Omben, puluhan kilo dari kota. Menurut informasi, polisi dalam jumlah banyak berjaga-jaga di daerah basis penganut syiah, karena hampir seluruh pengikut syiah meninggalkan rumah, dievakuasi ke Gedung Olah raga (GOR) di kota Sampang.

Saya berangkat dari rumah di Sumenep sekitar jam 07.00, berdua naik motor bersama sahabat saya. Tiba di Pamekasan saya mampir ke kos teman, seorang mahasiswa asal Sampang yang rencananya saya ajak ikut serta ke Sampang. Di kos teman saya lumayan lama berdiskusi tentang kasus pembakaran itu. Tetapi sayang, teman saya tidak bisa ikut, karena di ada kegiatan di kampusnya.

Tiba di Sampang saya langsung menuju Masjid. Di situ saya mencoba kontak dua wartawan local yang kontaknya saya peroleh dari teman juga. Saya juga mencoba kontak seorang teman anggota DPRD Sampang untuk mencari informasi awal tentang kasus pembakaran itu. Saya janji ketemu dengan anggota DPRD itu. Sehabis shalat, sambil menunggu teman saya cari warung makan. Di situlah kami berdiskusi hingga hampir 14.00.

Di GOR, Ketemu Ustadz Tajul

[caption id="attachment_153071" align="aligncenter" width="512" caption="pintu masuk GOR"]

13253849011125364678
13253849011125364678
[/caption]

Sehabis berdiskusi dengan anggota dewan, saya berangkat ke GOR, tempat dimana pengikut syiah dievakuasi. Saya membayangkan sekali lagi, di sekitar GORmencekam. Dijaga berlapis-lapis hingga sulit untuk menemui korban.

Dugaan saya meleset lagi. Di depan GOR hanya nampak 6-8 polisi. Saya pun masuk ke ke GOR yang memiliki halaman luas itu. Saya menyerahkan kartu identitas saya kepada seorang polisi yang disebut “komandan”.Saya dipersilahkan mengisi buku tamu. Begitu mudah.

Saya melangkah masuk ke dalam ruangan. Suasana sangat rame. Perempuan-lak-lakii, tua-muda, juga anak-anaktumpah-ruah di dalam ruangan. Saya melihat seorang laki-laki, nampak diwawancarai sambil berdirioleh seorang yang katanya dari Jakarta. Tiba-tiba ada seorang laki-laki menghampiri saya dan berbisik, “itu ustadz Tajul.”

Ternyata yang ngobrol itu ustadz Tajul. Ia mengenakan sarung, pake kaos loreng-loreng berkerah, dan tanpa kopiah. Saya kaget. Gambaran saya ustadz Tajul sudah tua. Ternyata ia masih muda, sekitar 35-40 tahun.

Sambil menunggu wawancara, saya amati korban yang nampak lugu di dalam ruangan. Mereka ngobrol membentuk kelompok-kelompok kecil sesama korban. Wajah-wajah mereka tanpa senyum, seakan menyembunyikan kepedihan yang dalam. Tak ada tawa. Tak ada canda. Kebanyakan dari mereka adalah petani. Seluruh korban yang dievakuasi sekitar 360, termasuk anak-anak.

[caption id="attachment_153068" align="aligncenter" width="512" caption="korban lesehan di tempat evakuasi"]

13253843331973256331
13253843331973256331
[/caption] [caption id="attachment_153069" align="aligncenter" width="300" caption="korban perempuan"]
13253844642025716736
13253844642025716736
[/caption] [caption id="attachment_153070" align="aligncenter" width="448" caption="yang sepuh"]
13253847771017619429
13253847771017619429
[/caption]

Selesai wawancara dengan tamu dari Jakarta, saya menghampiri ustadz Tajul. Dengan ramah ia menyambut saya, ketika saya mengutarakan niat melakukan wawancara. Pertama yang saya tanyakan kabar dan kondisinya. Ia jawab, baik-baik saja. Ia hanya menoleh kepada ratusan pengikutnya yang menemaninya ketika saya melakukan wawancara.

Menurutnya, sehari sebelum peristiwa terjadi, ia di Malang, tempat ia direlokasi. Pada hari kamis (29/12), sekitar jam 09.00 ia mendengar kabar dari pengikutnya di Sampang, bahwa pada jam 12.00 akan terjadi serangan massa ke rumahnya. Massa itu secara acak, bergerombol tak jauh dari rumahnya.

Ketika itu juga ia memerintahkan pengikut yang dekat rumahnya untuk mengungsi. Ia juga melaporkan akan adanya serangan kepada pihak polres Sampang. Tetapi serangan yang berujung pada pembakaran itu justru terjadi pada jam 10.00, dua jam lebih awal dari kabar yang ia dengar. 3 bangunan rumah dan 1 mushalla tempat anak-anak mengaji ludes terbakar.

Malamnya, pengikut ustadz tajul yang kira-kira berjumlah 360 dievakuasi oleh pihak kepolisian ke GOR. Hal ini untuk mengantisipasi situasi yang mungkin terjadi aksi susulan. Ustadz Tajul belum tahu sampai kapan ia dan pengikutnya tinggal di tempat evakuasi. Hanya ia berharap dalam waktu cepat bisa kembali ke desanya.

Ketika saya mengajukan salah satu opsi yang ditawarkan wakil Gubernur Jawa Timur yang saya baca di sebuah media cetak, dengan tegas ia menolak. “Siapa yang menjamin bahwa di tempat relokasi akan aman?”, tanyanya. Ia menilai tawaran itu tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika ia dan pengikutnya direlokasi, di tempat baru itu masyarakat akan menyambut ia dan pengikutnya sebagai “orang yang diusir”. Dan bukan tidak mungkin, menurutnya, masyarakat di situ akan mengusirnya lagi.

Baginya, tempat tinggalnya adalah Sampang. Rumah dan mata pencaharian pengikutnya yang sebagian besar petani juga di Sampang. Tentu tak menyelesaikan masalah jika opsinya direlokasi. Harapannya, di samping ada tindakan tegas kepada pelaku pembakaran, ia dilindungi haknya sebagai warga negara.

Dirasa cukup saya menyudahi wawancara. Saya pun pamit sambil menyaksikan anak-anak laki-laki di GOR bermain bola . Sementara anak perempuan tak kalah cerianya, mereka tampak asyik bermain tali yang ujungnya dipegang dua anak, dan secara bergantian mereka berloncatan di atas tali itu. Ya, khas anak-anak dalam situasi kepedihan, masih ada keceriaan.

Ketika saya keluar ruangan GOR, di pintu masuk saya melihat anak-anak kira-kira kelas 4 SD sedang duduk berdua. Saya bertanya sama salah satunya , “sekarang masih liburan ya dik…”. Ia mengangguk. “kapan masuk lagi?”, tanya saya lagi. “Hari senin,” jawabnya singkat. “Hari senin mau masuk enggak?”, teman saya ikut bertanya. Anak kecil itu tak menjawab. Ia hanya diam. Mungkin ia berpikir, kalau ia masih di tempat evakuasi, ia pasti tak bisa sekolah.

matorsakalangkong

Sumenep, 1 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun