Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendadak, Ajal Menjemputnya di Pesta Pernikahan

5 September 2011   08:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_129696" align="alignleft" width="244" caption="dok. pribadi"][/caption]

Tak seseorang yang bisa menembus misteri kematian. Tak ada. Bahkan malaikat pencabut nyawapun kadang salah, dan “terpaksa” mengembalikan nyawa seseorang yang sudah kadung dicabutnya. Cukup, persoalan ini hanya Allah Yang Maha Tahu.

Saya sering mendengar (sekali lagi hanya mendengar), batas hidup-mati sangat tipis. Baru tanggal 5 Syawal 1431 H tahun lalu, saya mengalaminya sendiri.Melihat dan mendampingi langsung kakak tertua saya yang wafat dengan sangat cepatjustru ketika menghadiri undangan pernikahan. Hari ini, 5 syawal 1432 tak terasa sudah setahun pergi.

Baru tadi rasanya..

Pagi itu, kami sekeluarga diundang acara pernikahan. Kami berangkat dari rumah sekitar jam 07.00 WIB. Saya semobil dengan kakak nomer dua dan adik, serta keluarga yang lain. Kami berangkat duluan. Sementara kakak tertua semobil dengan kakak nomer tiga dan istri. Merekaberangkat belakangan. Kira-kira mobil kami baru menempuh 1 km perjalanan, dari belakang dengan kecepatan agak tinggi, mobil kak tertua menyalip. Kaktertua sendiri yang menyetir. Sama sekali tak ada tanda-tanda kematian.

Di rumah calon mempelai laki-laki, kami disuguhi makan. Kakak juga makan sambil ngobrol dengan para undangan lain. Begitu akrabnya. Sekali lagi tak terlihat ada tanda-tanda kematian.

Kepada tamu sebelahnya kakak sempat bertanya tentang dokteryang mungkin bisa mengobati penyakit maag-nya . Penyakit ini memang sejak usia muda dideritanya. Meski terbilang akut, kakak tak peduli makanan pantangan. Terutama masakan pedas.

Usai acara di rumah calon mempelai pria, sekitar jam 08.00 semua undangan naik ke mobil untuk mengantar calon mempelai pria ke rumah calon mempelai wanita. Akad nikah akan dilangsungkan di situ. Kakak kembali ke mobilnya. Kali ini bersama kakak nomer tiga, saya, dan ipar saya. Berempat. Kakak tertua sendiri yang menyetir. Lagi-lagi tak tanda-tanda kematian.

Dalam perjalanan dari calon mempelai pria ke rumah calon mempelai wanita banyak hal yang diobrolkan. Termasuk rencana jam 14.00 nanti yang mau takziah ke kenalan beliau yang baru meningal dunia.

Kira-kira jam 08.20 kami tiba di rumah calon mempelai wanita. Satu persatu acara dilalui. Termasuk acara yang paling ditunggu yaitu pelaksanaan akad nikah. Yang memimpin akad nikah adalah KH. Warits Ilyas, pengasuh pesantren terbesar di daerah kami, yang juga guru kakak saya. Di usia muda beliau memang mondok di pesantennya . Sehabis akad dilanjutkan dengan ceramah KH. Warits Ilyas tentang makna pernikahan.

Saya duduk agak jauh dari kakak. Karena itu saya tidak tahu persis apa yang diobrolkan kakak dengan undangan lain yang duduk di sebelahnya. Terahir saya melihat kakak masih sehat dan tidak ada tanda-tanda akan wafat, ketika beliau tergopoh-gopoh mengejar KH. Warits Ilyas, guru yang sangat dihormatinya, untuk bersalaman. Kebetulan, KH. Warits Ilyas memang pamit duluan karena ada acara lain. Sementara undangan lainnya masih di tempat pernikahan untuk menunggu suguhan makan.

Sehabis bersalaman dengan KH. Warits, kakak saya kembali ke tempat duduknya. Bersila. Ketika persiapan suguhan makanan hampir rampung, di sebelah barat tempat saya duduk, ada suara rame. Refleks saya menoleh.Terahir itulah saya melihat kakak masih hidup, oleng ke kanan seperti mencari tempat sandaran kepada tamu yang duduk di sebelah kanannya.

Saya langsung berdiri, tetapi bingung mau berbuat apa. Semua undangan panik, kecuali undangan perempuan karena dipisah tabir dengan undangan laki-laki. Kontan saya langsung membuka tabir, mencari dan memberi tahu kepada istri kakak dan saudara-saudara saya. Semua meloncat dan berlari ke arah kakak yang digotong oleh para undangan ke mushalla yang cuma tiga meter dari tempat para undangan duduk.

Antara sadar dan panik, semua undangan menangis melihat kakak tiada daya berbaring lemah. Ada yang meminumkan air, ada yang memberi minyak kayu putih di perutnya. Saya hanya mondar-mandir tak tahu harus berbuat apa. Tak terasa air mata mengucur deras. Berhimpun dengan isak tangis semua para undangan yang baru saja bahagia menyaksikan pasangan penganten menikah.

Antara sadar dan panik saya lari ke jalan raya sampai dua kali. Memastikan orang yang akan mengantar kakak saya dibawa ke dokter . Saya yakin kakak masih (akan) hidup. Kakak digotong kembali dan dimasukkan ke mobil untuk dibawa ke dokter. Saya ikut didalamnya bersama istri kakak saya dan sebagian sauadara saya yang lain.

Saling Mengingatkan dalam Kesabaran

Mobil meluncur cepat. Istri kakak meminta agar dibawa ke RSD sumenep yang jarak tempuhnya hampir 25 km.Saya usul agar dibawa ke puskesmas terdekat karena kakak butuh pertolongan cepat. Ahirnya mobil meluncur ke puskesmas. Ketika perawat memeriksa, kakak sudah wafat. Kemungkinan kakak sebenarnya wafat ketika sudah digotong ke mushalla di tempat pernikahan tadi. Dugaan, akibat serangan jantung.

Tangis kembali pecah. Semua yang ada di puskesmas diselimuti duka. Duka yang datang mendadak setelah kebahagian menyaksikan akad nikah. Semendadak kematian yang menimpa kakak karena sebelumya tak ada tanda-tanda akan wafat. Tetapi semua yang ada di puskesmas juga saling mengigatkan untuk sabar.

Waktu itu yang terbayang dalam ingatan saya, empat anak kakak yang semuanya tidak ikut. Juga ibu kami yang sudah sangat sepuh. Yang paling kecil baru berusia 11 tahun. Betapa kagetnya mereka, ayah yang mereka cintai berangkat dalam kondisi sehat dan tidak ada tanda kematian, justru pulangnya berbaring dalam keranda.

Sekitar 30 menit kemudian kakak dibawa ke rumah duka yang jaraknya sekitar 12 km dari puskesmas. Saya dan kakak nomer tiga satu mobil. Kali ini bukan kakaktertua yang menyetir. Sekarang ia berbaring dikeranda tertutup kain samper (sarung perempuan) di mobil ambulan.

Tiba di rumah duka, para tetangga sudah penuh menunggu jenazah. Saya pun langsung mencari ibu dan keponakan saya. Tangis pecah. Semua sangat kehilangan. Apalagi kakak tertua selama ini mampu mengganti peran abah yang sudah meninggal 6 tahun sebelumnya. Ia begitu perhatian sama ibu, adik-adiknya, dan keluarganya. Tetapi semua tetap saling menasehati dalam kesabaran.

Batas hidup-mati betul-betul sangat tipis. Ibarat tabir, satu sisi adalah “kehidupan” sementara di sisi lainnya adalah “kematian”. Tinggal menunggu malaikat untuk menyingkap tabir. Begitu juga, batas kebahagian-kedukaan juga sangat tipis. Bahkan dalam satu lokus, kebahagian dan kedukaan saling berebut mengisi. Terkadang bercampur aduk. Tugas kita adalah menyeimbangkannya.

“Sesunguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali”

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu. Amiin.

Selamat jalan kakakku!!!

Baru tadi rasanya...

matorsakalangkong

Kampong damai, 5 september 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun