[caption id="attachment_112049" align="aligncenter" width="209" caption="republika.co.id"][/caption] Menyaksikan Anda berdua -di tambah pak BJ Habibie-di TV menyampaikan pidato kebangsaan di Hari Kesaktian Pancasila, saya dibuat terkesima. Bukan oleh pidato anda yang tak ada keraguan terhadap pancasila sebagai jati diri bangsa ini, tapi oleh sikap anda yang meski sepele justru menohok pancasila yang baru anda pidatokan. Apa itu? Anda berdua setelah menyampaikan pidato tidak saling salaman.
Apa hubungannya tidak salaman dengan pancasila? Anda berdua tidak menghargai kebhenekaan, berbeda-beda tetapi satu jua. Di tangan Anda mungkin ditafsirkan lain, berbeda ya berbeda. Nah bukanlah sikap yang Anda tunjukkan berdua mencederai nilai pancasila.
Saya paham, mungkin masalah yang menyebabkan Anda berbeda sangatlah besar. Dalam waktu 10 tahun terakhir, tak ada kemajuan menyangkut hubungan Anda berdua. Selalu saja diwarnai perseteruan. Perseteruan itu tak cukup berhenti pada Anda, tapi juga pada partai yang menjadi basis politik Anda. Artinya, sikap Anda sebagai pemimpin akan memberikan pengaruh yang luas bagi pengikutnya.
Itulah yang membedakan Anda sebagai pemimpin dengan saya yang rakyat jelata. Tutur dan sikap Anda berdua didengar, dilihat, dan akan berdampak luas bagi masyarakat yang Anda pimpin.
Perbedaan pendapat tentu wajar. Tak mungkin Indonesia yang dihuni oleh masyarakatnya yang plural akan disatukan. Tetapi perbedaan bukan berarti harus bercerai-berai. Perbedaan tetap harus disikapi dengan arif dan lapang dada.
Sayang, Anda berdua telah melewatkan momentum. Seandainya di Hari Kesaktian Pancasila kemarin Anda berdua berlapang dada untuk saling salaman, ceritanya akan lain. Anda telah memulai membangkitkan kenegarawanan yang saat ini sudah mulai luntur oleh warna-warni kepentingan pribadi dan kelompok yang kian kuat. Sayang, itu tidak terjadi.
Bersalaman memang tidak menyelesaikan masalah. Tetapi bersalaman -apalagi dilakukan oleh para pemimpin-pasti akan memberikan pengaruh bagi psikologi politik yang kian tidak menenteramkan ini. Bagaimana akan membangun kebersamaan untuk segera keluar dari kemelut bangsa ini, jika pemimpinnya saja tidak mau bersalaman?
Karena saya menonton di tv, saya tidak tahu apakah sebelum dan setelah acara, Anda berdua salaman. Tetapi akan lebih baik jika salaman itu juga dipertontonkan kepada public, seperti yang pak Habibie lakukan. Memang sebelumnya anda pernah bersalaman. Cuma yang saya minta tentu salaman yang bukan diniati untuk menjual citra, atau lahir dari kepura-puraan, tetapi lahir dari sikap kenegarawanan sebagai pemimpin yang memang harus rendah hati dan lapang dada.
Ah...seandainya Anda berdua berlapang dada, kesaktian pancasila tentu tidak cuma di atas kertas.
Matorsakalangkong
Sumenep, 3 juni 2011