[caption id="attachment_76578" align="aligncenter" width="566" caption="http://picasaweb.google.com"][/caption]
Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana, lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.
[caption id="attachment_76581" align="aligncenter" width="320" caption="http://picasaweb.google"]
Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.
[caption id="attachment_76577" align="aligncenter" width="281" caption="http://picasaweb.google.com"]
Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII. Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?) Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.
Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti ya cangkul, nguwan (menggembala) sapi atau kambing, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, gaya pakaian, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun, kebersamaan juga dilepas.
Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.
[caption id="attachment_76584" align="aligncenter" width="599" caption="http://picasaweb.google"]
Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H