[caption id="attachment_349723" align="aligncenter" width="294" caption="dokumen pribadi"][/caption]
Setiap pukul 06.00 pagi hari, saya meihat seorang gadis kecil berseragam sekolah, berumur 12 tahun lewat di depan rumah. Anaknya hitam manis dan bersahaja. Ditemani sepeda ontel, di tangannya nampak sebuah keranjang berisi pentol. Keranjang itu ia bawa setiap pagi untuk dititip di kantin pesantren dekat rumah saya.
Sore hari menjelang maghrib, ia kembali lewat depan rumah. Saatnya ia mengambil keranjang dan menghitung berapa jumlah pentol yang laku. Setidaknya di sore hari ia membawa sejumlah uang dari hasil menitipkan pentol yang ia antar pagi harinya. Pemandangan ini sudah berlangsung sejak setahun yang lalu, dan tetap dijalaninya dengan penuh tabah dan riang hingga sekarang ini. Tak ada dalam raut wajahnya perasaan tertekan dan terpaksa. Senyum yang cerah di wajah gadis ini menandakan bahwa ia melakoni aktvitasnya dengan riang dan santai.
Jika berpapasan dengan saya, sapaan “Assalamu’alaikum” selalu meluncur dari bibirnya. Sering diikuti dengan bungkukan badan, satu wujud dari karakter “andhap ashor” (rendah hati) yang saya yakini sudah ditanam sejak usia dini oleh orang tuanya.
Karena penasaran saya mencari tahu informasi gadis kecil yang tangguh itu. Namanya Shinta. Anak bungsu dari 3 bersaudara yang kebetulan semuanya cewek. Meski berasal dari keluarga sederhana, tetapi urusan pendidikan bagi keluarga ini nomer satu. Kakak pertama shinta sudah lulus dari sebuah PTN di Yogyakarta, dan sekarang sudah menjadi guru. Kakaknya yang kedua masih kuliah di Yogyakarta juga. Dan Shinta saat ini masih kelas VII di MTs di desa saya. Shinta ternyata tinggal tak jauh dari rumah saya, tak sampai 1 km.
Bagi saya Shinta tipikal pelajar berkarakter. Saat dunia pendidikan secara artifisial mewacanakan pendidikan karakter, Shinta sudah mengakarkannya. Membantu orang tua secara tulus dalam usia yang masih sangat belia, bolak-balik setiap pagi-sore selama bertahun-tahun bukan sesuatu yang mudah. Shinta bukan sekedar mengantar keranjang yang berisi pentol, tapi Shinta sedang belajar makna cinta kasih, empati, peduli, kesabaran, keuletan, dsb. sejumlah karakter yang sangat dibutuhkan bangsa ini di saat banyak anak-anak muda dilanda virus gaya hidup instan, cengeng, da selalu galau.
Ketika Shinta masih kelas VI MI setahun lalu, ia memperoleh penghargaan dari madrasahnya karena karakternya ini. Shinta dinaikkan ke atas panggung kehormatan dan manerima penghargaan yang memang sangat layak diberikan kepada gadis kecil ini. Saya yang hadir ketika itu tak mampu menahan tangis. Saya melihat para wali yang hadir juga berkaca-kaca.
Shinta seolah memecah kebuntuan dunia pendidikan. Di saat dunia pendidikan dan orang tua hanya menghargai kecerdasan kognitif, Shinta justru muncul dengan kecerdasan yang lebih substansial, keluhuran karakter.
Saya meyakini karakter Shinta bukan sekedar hasil pendidikan di sekolah. Karakter Shinta justru disemai dalam keluarga, pilar pendidikan yang sangat penting tapi sayangnya sering “terkalahkan” oleh sekolah. Pada hal urusan pendidikan tak mungkin sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 25 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H