[caption id="attachment_355269" align="aligncenter" width="448" caption="salah satu kegiatan untuk mengembangkan budaya menulis mengadakan acara Temu Penulis. Budayawan Nasional D. Zawawi Imron ketika hadir di Madrasah kami (foto: dokumen pribadi)"][/caption]
Menulis bagi guru seperti saya yang mengajar di sebuah madrasah di pedesaan memberi energi luar biasa. Bagi saya, menulis bisa menjadi media belajar sepanjang hayat. Karena menulis meniscayakan saya untuk terus membaca. Dua kegiatan yang berjalan secara simultan ini penting maknanya bagi saya untuk terus mendorong pikiran-pikiran kreatif terutama yang berkaitan dengan dunia kependidikan dan kebudayaan, tema yang saya geluti saat ini.
Atas dasar inilah bersama guru lain yang memiliki hobby menulis, saya mendesain gerakan literasi. Kami yakinkan pimpinan madrasah bahwa gerakan literasi akan memberi warna bagi madrasah dan bisa mendorong kreatifitas siswa pedesaan sekaligus merawat mimpinya. Gayung bersambut. Madrasah secara lebih terencana sejak tahun 2005-sekarang terus mengembangkan gerakan literasi.
Pengalaman saya bersama guru lain yang terusmembangun gerakan literasi di madrasah hingga sekarang melahirkan kejutan yang tak terduga. Dalam himpitan ekonomi yang serba ringkih, anak-anak madrasah pinggiran seperti menemukan energi dalam buku dan menulis. Membaca buku dan menulis berhasil menjadi media bagi mereka untuk melampaui kondisi social-historisnya; sebagai anak keluarga miskin dan anak desa, yang seringkali mengalami perlakuan diskriminatif serta dipandang sebelah mata.
Dan yang paling penting melalui buku dan menulis; harapan, cita-cita, dan mimpi besar tentang masa depan diam-diam menghunjam sangat dalam di benak-bathinnya. Melalui mimpi inilah mereka merenda masa depan, serta menghidupkan nyala diri, MENJADI PEMBELAJAR SEPANJANG HAYAT.
Sekedar ilustrasi. Khafi, seorang lulusan dari keluarga biasa, pergi ke Yogyakarta untuk kuliah dengan membawa uang Rp. 100 ribu (hanya cukup untuk biaya pendaftaran ketika itu), dan dia harus berjibaku naik truk Sumenep-Yogyakarta agar tidak mengeluarkan uang transportasi. Saya tahu, semangat Khafi menyala-nyala seperti itu karena ketika di madrasah dia suka membaca buku dan menulis cerpen dan puisi. Syaiful, juga dari keluarga biasa, berangkat kuliah ke Surabaya dengan uang hasil menjual sepasang kambingnya. Tetapi sejak semester 3 di S1 hingga sekarang lulus S3 mampu membiayai kuliah sendiri (karena mendapat beasiswa). Saya juga tahu ketika di madrasah Syaiful seorang kutu buku dan suka menulis esai dan opini.
Masih banyak cerita anak-anak madrasah pinggiran di tempat kami mengabdi yang tahan banting dan terus menyalakan mimpinya, yang salah salah satunya mereka dapati melalui kegemaran membaca buku dan menulis. Inilah alasan bagi kami kenapa mengembangkan kultur membaca dan menulis menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Tentu saja di samping merawat mimpi, banyak hal yang akan mereka dapati dari kegemaran membaca buku dan menulis. Tetapi cukuplah saya menjelaskan satu saja dari keajaiban mengembangkan kultur membaca dan menulis itu.
Bagaimana Mengembangkannya?
Saya meyakini, tiap sekolah pasti memiliki cara, kiat, atau strategi yang berbeda dalam mengembangkan gerakan literasi. Tetapi satu hal yang menurut saya tidak boleh berbeda, bahwa membangun kultur membaca dan menulis tak bisa dilakukan secara instan.Guru harus mendesain gerakan ini secara programatik, dimana satu kegiatan dengan kegiatan lainnya dirancang secara integral, bukan sporadis dan terpisah-pisah.
Secara sederhana, inilah beberapa pengalaman kami mentradisikan kultur membaca dan menulis di madrasah kami :
- Secara reguler mengadakan lomba menulis puisi, cerpen, resensi, dan karya ilmiah populer. Lomba menulis menjadi bagian dari lomba-lomba lainnya yang didesain dalam Creative Student Day atau Hari Siswa Berkreasi. Pada hari yang sudah ditentukan, semua siswa harus menyerahkan karya yang kemudian dinilai oleh para juri. Ternyata diantara jenis lomba lainnya, lomba menulis menjadi favorit.
- Mengundang penulis terkenal untuk sharing pengalamannya dalam dunia kepenulisan. Cara-cara ini cukup jitu memompa semangat menulis siswa, karena mereka langsung bertatap muka, berdialog, dan menimba pengalaman dari penulis terkenal.
- Terus menambah koleksi buku-buku bacaan (non-paket) di perpustakaan. Buku-buku motivasi, novel-novel yang menginspirasi, biografi tokoh, dan buku-buku ringan lainnya menjadikan keharusan untuk menambahnya.
- Penghargaan tidak saja diberikan kepada siswa peraih prestasi akademis. Siswa yang memiliki keterampilan non-akademis, seperti menulis, juga dikasih penghargaan. Juga ada penghargaan bagi siswa yang paling rajin ke perpustakaan
- Menerbitkan newsletter yang dikelola sendiri oleh siswa. Di madrasah kami ada 3 newslatter. “Apresiasi” khusus sastra-budaya, “Gelora” disediakan bagi siswa yang gemar menulis opini, dan satu lagi “Ceria”yang dikelola oleh siswi (puteri). Saat ini juga sudah membuat blog, meski pengelolaan newsletter dan blogmandeg.
- Menerbitkan buku antologi karya-karya para siswa terpilih.
- Bagi siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib diberi sanksi membaca buku yang harus diresensi atau diresume habis membacanya. Sayang, soal sanksi dengan membaca buku belum diseriusi oleh pengelola Madrasah.
- Pihak Madrasah terus mengupdate informasi tentang lomba menulis dan mengikutkan mereka dalam lomba itu. Persoalan kalah-menang nomer dua. Yang penting mereka memiliki pengalaman.
- Sejak tahun ajaran 2013-2014, di madrasah kami sudah memulai program wajib baca buku terhadap semua siswa. Mereka diminta untuk membuat review buku yang dibaca danmenjadi prasyarat mengikuti UAS.
- Tahun ini madrasah sedang dalam proses menyeleksi hasil review siswa dan juga puisi yang dilombakan dalam CSD untuk diterbitkan menjadi buku.
- Satu hal yang menggembirakan, untuk menambah koleksi buku perpustakaan bersama Madrasah Aliyah di 4 Kecamatan yang tergabung dalam “Majelis Silaturrahim Madrasah Aliyah se Timur Daya” mengadakan Arisan Buku. Ke depan, kami merencanakan gagasan Arisan Buku ini juga akan diadakan di tingkat siswa
Itulah beberapa pengalaman membangun kultur membaca dan menulis di madrasah kami. Pengalaman ini terkesan narsis, karena memotret sisi gemerlapnya saja. Tetapi cerita pahit getir selalu menjadi bagian dari lakon apapun, sebelum kita menyeruput manisnya. Salah satu manisnya itu terlihat dari kemampuan anak-anak madrasah pinggiran MERAWAT MIMPI.
Secara khusus saya patut mengapresiasi Tanoto Foundation yang ikut menggairahkan dunia literasi bagi para guru melalui penerbitan buku-buku tentang pendidikan, workshop, atau lomba menulis bagi para guru. Cara ini menurut saya di samping bisa menjadi media sharing antar guru di berbagai penjuru nusantara, juga bisa menggairahkan guru untuk terus menulis, menulis, dan menulis.Dan guru menulis secara berantai akan memberi inspirasi bagi siswa-siswanya untuk juga menulis. Dengan cara seperti ini, menurut saya pendidikan akan makin hidup.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 20 Novemver 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H