Denting suara rintik hujan menari-nari di atas genting. Halilintar berkejaran kesana-kemari, sesekali menimbulkan suara gemuruh yang memekakan telinga. Di sebuah rumah gubuk tampak seorang perempuan juga seorang laki-laki separuh baya sedang menatap tetesan hujan yang turun di beranda rumahnya lewat sebuah jendela.
“Bu, bapak sepertinya tidak jadi berangkat lagi.”
“Ya tidak apa-apa toh pak,Ibu mengerti,hujan-hujan begini mendingan di rumah saja, pak. Bapak kan masih sakit”
“Bapak minta maaf ya.” Suara bapak agak sedikit ditahan, nampak ada sedikit penyesalan di ucapannya. Memang semenjak hujan terus turun beberapa minggu belakangan ini, Bapak lebih banyak berdiam diri di rumah. Pekerjaannya selama ini, sebagai penarik ojek terpaksa terhenti, apalagi bila hujannya turun pada sore hari. Padahal sore hari bagi bapak adalah waktu yang tepat untuk mencari penumpang sebanyak-banyaknya. Dari tempat biasa ojeknya mangkal ada banyak pabrik, dan setiap sore karyawan-karyawannya yang berjubel berebut ojek yang akan mengantar mereka pulang ke rumah atau kontrakannya. Bukan tidak ada angkot atau kendaraan umum lainnya, namun katanya ojek lebih praktis sebab kebanyakan mereka tinggalnya di gang-gang yang tidak bisa dimasukin mobil atau kendaraan besar lainnya. Bukan maksud bapak tidak mau narik penumpang waktu hujan, seperti teman-teman lainnya. Bapak tidak biasa dan juga usianya yang sudah tidak muda lagi tidak bisa lagi diajak kompromi. Badannya sering sakit apabila kehujanan, belum lagi encoknya sering kumat apabila terlalu lama kedinginan. Badannya sudah mulai tidak tahan dengan cuaca. Kalau gak masuk angin, ya panas dingin.
Di luar hujan masih terus turun. Waktu mulai bergeser pelan menunjukan sore hari. Bapak masih duduk menatap hujan. Sementara Ibu lagi di dapur menanak nasi. Bapak tenggelam dalam lamunan beberapa tahun kebelakang ketika bapak masih bekerja, kebetulan seorang karyawan di sebuah pabrik di dekat rumahnya. Jabatannya lumayanlah sebagai staff gudang. Kerjanya tidak terlalu berat hanya mengecek keluar masuknya barang. Gajinya pun lumayanlah, walau bisa dikatakan tidak terlalu besar bila dibandingkan perusahaan lain. Namun akibat sesuatu hal perusahaannya mulai mengalami kemerosotan di ujung kebangkrutan. Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan perusahaan adalah menyusutkan jumlah karyawan. Kebijakan karyawan merugikan bagi Bapak, perusahaan mengambil keputusan untuk memberhentikan karyawan yang masuk kategori tua, dan bapak termasuk diantaranya. Tak ada yang bisa diperbuat bapak, karena bukan hanya bapak yang dipecat, yang lainpun mengalami hal yang sama. Bapak menerima walau kecewa. Bapak mencoba untuk sabar. Selepas berhenti dari pekerjaannya bapak mulai mencoba menghubungi teman-teman lamanya hanya untuk sekedar menanyakan ada tidaknya lowongan kerja untuk bapak. Hasilnya, tak ada satupun, perusahaan lebih mengutamakan pekerja baru yang berada pada usia produktif dibanding usia lainnya. Sedang usia bapak tidak bisa ditolelir lagi. Bapak menyerah, namun tanggung jawabnya sebagai suami tak bisa bapak tanggalkan begitu saja. Berbekal uang pesangon yang tersisa, bapak mencoba untuk berwiraswasta, namun usahanya menemui jalan buntu, gagal total.tak ada hasil yang didapat. Jangankan keuntungan, modalnya pun tidak kembali sama sekali. Bapak mulai frustasi, dengan sisa uang yang mepet, kembali Bapak mencoba untuk membuka usaha, kali ini membuka lapak kaki lima di sebuah jalan. Kali ini bukan keuntungan yang bisa didapat, lapaknya di gusur tibum. Tak ada uang pengganti, barang daganganpun dibawa . Bapak sudah mulai hilang akal. Bapak mulai bingung apa yang harus diperbuatnya untuk menyambung hidup.kali ini uang bapak sama sekali habis. Tak ada pilihan lain, bapak akhirnya berupaya untuk mencari pinjaman uang dari saudara-saudara bapak. Dapat, lalu dibelikannya sepeda motor seken dari seorang teman. Bapak beralih profesi menjadi tukang ojek. Tak apalah.katanya suatu saat. ”Bu, bapak tak pernah malu. Justru bapak malu kalau cuma berdiam diri di rumah menunggu rezeki turun dari langit tanpa sedikitpun usaha. ”Ibu hanya terdiam kala itu, perasaan Ibu teriris-iris, ketika harus menyaksikan bapak yang dulunya hidup lumayan enak harus berjuang mati-matian menyambung hidup. Dulu ketika bapak masih bekerja, bapak mempunyai motor dua buah, bapak jual untuk menambah modal usaha yang akhirnya bangkrut juga rumahnya pun dijual juga kemudian membeli rumah, atau lebih tepatnya sebuah gubuk. Hujan terus turun dengan derasnya. Bapak masih termenung, kali ini bapak masih memikirkan kata-kata istrinya pagi tadi. ”Pak, beras sudah mau habis, hanya cukup buat besok sore saja.”
Memang setelah bapak di Phk dan usahanya gulung tikar, tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan bapak selain menjadi tukang ojek. Usianya yang sudah setengah abad tak bisa lagi diandalkan. Menjadi tukang ojek bukanlah pilihan tepat, namun tak ada hal lain yang bisa diperbuat. Bapak berusaha ikhlas dengan keadaan. Setiap hari bapak bangun ketika adzan shubuh berkumandang. Tujuannya mengantar penumpang yang hendak pergi ke pasar. Siang pun bapak melakukan hal yang sama. Hingga sore menjelang bapak pun masih mengojek. Namun beberapa bulan belakangan ini bapak harus lebih banyak istirahat di rumah. Dokter memvonisnya penyakit ginjal. Bapak sakit dan harus banyak istirahat. Maka akhirnya pekerjaan sebagai tukang ojek harus banyak dikurangi waktunya. Dan hanya sore harilah waktu yang bisa digunakan. Namun semenjak hujan turun tak henti-hentinya di sore hari, hampir setiap hari seperti saat ini. Memaksa bapak lebih banyak berdiam di rumah. Tak ada pilihan lain. Sebetulnya bapak bersikeras untuk tetap mengojek ketika hujan turun. Namun semenjak sering sakit akibat kehujanan, ibu sering memaksa bapak untuk tidak berangkat. Bukan apa-apa, ibu merasa kasihan sama bapak.
Bukan tidak mau minta bantuan anaknya, yang kebetulan satu-satunya dan tinggalnya jauh di seberang pulau. Namun sesuatu hal memaksa hubungan bapak-anak ini merenggang. ”Bapak tak pernah sedikitpun setuju kamu menikah sama Kadek, bapak tidak mau kamu menikah dengan seorang perempuan yang berbeda keyakinannya. Sama perempuan manapun bapak setuju, dengan syarat keyakinannya sama. ”Ini awal dari merenggangnya hubungan mereka. Amir bersikeras tetap menikah dengan perempuan yang dicintainya. Tetapi tidak bagi bapak. Bagi bapak bila seorang anak menikah dengan perempuan beda akidah, maka bapak akan menganggap bahwa anaknya yang melanggar tidak akan pernah dianggap sebagai anaknya lagi, kejam memang tapi inilah keadaannya. Dan itulah kenyataannya. Bapak harus rela melepaskan Amir. Pertengkaran pun terjadi, dan tak seorangpun dari bapak dan Amir mau mengalah. Tinggal ibu yang meraung-raung di antara persengketaan. Ibu tak pernah mau kehilangan Amir, pun bapak. Ibu tak pernah bisa memilih. Sebab tak ada pilihan yang lebih baik. Ibu berusaha tabah, dan berusaha merelakan kepergiaan Amir. Bapak, hingga saat ini masih tetap teguh pada pendiriaanya. Rasa sakit hati bapak begitu dalam. Bapak tak pernah mau menerima uluran tangan Amir walau keadaan bapak susahpun. Pernah suatu saat tanpa sepengetahuan bapak. Ibu menerima kiriman sejumlah uang dari Amir. Namun ketika bapak mengetahuinya. Bapak marah besar dan menyuruh ibu untuk mengembalikan uang tersebut. Sampai saat ini bapak tampaknya tak pernah mau menerima apalagi meminta anak semata wayangnya untuk membantunya. ”Tidak usahlah bu, bapak masih kuat nyari uang sendiri. Mending uangnya dikembalikan saja suruh uangnya ditabung saja buat anaknya kelak. ”Suatu saat ketika ibu terlanjur menerima kiriman uang dari Amir. Ibu tak bisa memaksa, sebab untuk urusan yang satu ini ibu faham betul karakter bapak. Kalau sudah bilang tidak, ya tidak. Sebenarnya ibu begitu kasihan melihat keadaan bapak kini. Namun ibu tak bisa berbuat apa-apa.
Amir ingin sekali membawa Bapak serta Ibunya tinggal bersamanya di Kalimantan. Namun Bapaknya dengan tegas menolak. “Bapak tidak mau tidak pernah akan mau, sebelum istrimu itu berpindah keyakinan. Lagipula bapak lebih kerasan tinggal di sini. Bapak kan sudah tua. Bapak ingin bila suatu saat ajal menjemput. Bapak dikuburin di tempat kelahiran bapak ini.” Alasan bapak ketika Amir mengajaknya pergi. Amir hanya terdiam tak bisa berkata-kata lagi. ”Lagi pula Mir, Ibu tidak mau ngerepotin kamu danistrimu nanti.” Ibu menambahkan.
Hujan terus turun, rintiknya terus membasahi beranda seakan tidak puas dengan hari kemarin. Bapak masih terus menatap jendela, sesekali batuk-batuk. Ada perasaan bersalah yang diisyaratkan mata tuanya. Banyak kerinduan yang dibenamkan kerut keningnya. Bapak, mungkin bapak-bapak lainnya merasakan betapa berat hidup yang dipikulnya. Ketika sebagian bapak lainnya ongkang-ongkang kaki pensiun di usia dininya. Bagi bapak hidup harus terus berjalan sebagaimana tetesan hujan yang terus jatuh di pelipir. Bapak masih berjuang untuk hidup, untuk istri yang dicintainya. Selama bapak mampu, selama itu pula bapak bertahan tanpa harus meminta bantuan siapapun, termasuk anaknya.
Akhirnya, hujan pun tidak benar-benar bisa diajak kompromi, hujan terus turun.menjatuhkan berbagai kenangan bapak. Mengalirkannya keparit-parit dan suatu saat kelak airnya akan bermuara di sebuah samudera luas dimana anaknya, Amir berada di seberang samudera itu. Bapak sebenarnya masih mengharapkan anaknya kembali, hati kecilnya. Namun bapak tak pernah mampu berucap lewat lisannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H