[caption id="" align="alignleft" width="400" caption="pengganguran"][/caption] Pada peringatan 60 tahun Great Depression, Biro Analisis Ekonomi Departemen Perdagangan Amerika Serikat mempublikasikan perhitungan bahwa PDB ekonomi AS mulai tumbuh setelah selama empat catur wulan mengalami penurunan. Jika ini benar, maka ini adalah pertumbuhan pertama perekonomian AS selama satu tahun ini. Amerika Serikat bergabung dengan ekonomi terkemuka lain seperti Jepang, Cina, Jerman, dan Perancis yang tampaknya mulai bangkit dari resesi dan terhindar dari kolaps. Beberapa pihak berpendapat bahwa ini merupakan pertanda berakhirnya ‘resesi besar’ dan kembalinya era pertumbuhan ekonomi. Untuk menilai kebenaran pendapat ini, kita perlu melihat kembali faktor-faktor penyebab resesi dan menganalisanya, apakah faktor-faktor tersebut masih ada atau apakah faktor-faktor tersebut telah digantikan oleh kondisi-kondisi ekonomi yang akan membawa pertumbuhan baru yang lebih dapat dipertahankan dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Barat pada dekade terakhir ini digerakkan oleh gelembung ekonomi sektor (pembiayaan) properti/real-estate yang menstimulasi perekonomian negara Barat lainnya. Gelembung tersebut mencapai proporsi yang sangat luar biasa besar, karena bank-bank berhasil menciptakan beragam produk keuangan yang dimunculkan dari utang properti (KPR) untuk kemudian dijaminkan dan dijual kepada bank-bank lain. Rupanya, laku kerasnya jualan baru itu dikarenakan adanya asumsi bahwa gelembung ekonomi sektor properti dan pembiayaannya akan terus berkembang. Kenyataannya, pada bulan April 2007 perusahaan hipotek kategori sub prima (KPR bagi kalangan tak mampu) – New Century Inc – kolaps. Diikuti dengan jatuhnya Northern Rock pada bulan Februari 2008, lalu AIG, Lehman Brothers, dan bank-bank besar lainnya. Jatuhnya berbagai bank dan hedge fund properti menunjukkan kepada kita bahwa pertumbuhan/boom ekonomi pada dekade terakhir bukanlah boom ekonomi yang sustainable. Ia juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut dibangun berdasarkan asumsi liar bahwa harga properti akan terus menerus naik. Asumsi tersebut saat ini terbukti salah, harga properti justru semakin jatuh, karena banyak rumah yang terpaksa harus dilelang bank akibat pemilik hipoteknya gagal bayar. Terungkap sudah adanya lubang besar dalam praktek bank-bank besar dunia dalam menyalurkan utang. Banyak bank yang seenaknya saja mengucurkan utang demi mengejar target dan bonus tahunan. Praktek tidak bertanggung jawab ini menyebabkan mereka ‘terpaksa’ melakukan write-off (pembatalan utang) terhadap puluhan trilyun utang, karena banyak yang wanprestasi (default/ Non Performing Loan). Hal ini mengakibatkan penghentian tiba-tiba kegiatan inti (sekaligus cashflow) perbankan, yakni mencari dana pihak ketiga dari nasabah dan meminjamkannya kepada beragam permohonan pembiayaan bisnis dan proyek. Oleh sebab itulah krisis yang sejatinya berada di ranah keuangan / moneter dapat berpengaruh kepada ranah ekonomi riil, di mana produksi turun, perusahaan bangkrut, dan pengangguran meningkat. Seperti itulah bangunan perekonomian Barat yang pada dekade terakhir digerakkan oleh sektor properti (utang hipotek). Demi mencegah kehancuran perekonomian mereka lebih lanjut, pemerintahan negara-negara Barat melakukan intervensi dalam skala yang luar biasa besar. Gagasan tersebut muncul dari prediksi bahwa jika ada banyak orang yang tidak dapat melakukan konsumsi yang dapat merangsang kegiatan ekonomi, maka negara dipandang perlu untuk menyediakan uang yang dibutuhkan untuk merangsang ekonomi itu sendiri dan pada akhirnya akan mengembalikan kepercayaan diri serta mulai nmenggerakkan roda ekonomi. Dalam hal krisis yang sedang terjadi saat ini, pemerintahan negara-negara Barat mengambil tiga pendekatan penyelamatan, yakni nasionalisasi, paket stimulus, dan pencetakan uang baru. Menganalisis Aksi Pemulihan Ekonomi Banyak ekonom dan pembuat kebijakan yang berpendapat bahwa perekonomian negara-negara besar telah menunjukkan pertumbuhannya antara bulan April dan Juni 2009, dan hal ini menandai berakhirnya ‘resesi besar’. Selama resesi, Jerman kehilangan 6,7% pendapatan nasionalnya. Jerman adalah jantung industri manufaktur di Eropa. Dalam menumbuhkan ekonominya, ia sangat bergantung kepada ekspor. Jadi, masalah terbesar baginya adalah jatuhnya tingkat perdagangan global, yang tahun ini oleh WTO diprediksikan menurun 10%. Meski demikian, kebijakan populis Kanselir Angela Merkel dan kesepakatannya dengan Russia untuk memasok kendaraan pabrikan Jerman menunjukkan bahwa pulihnya ekonomi Jerman didasarkan kepada adanya faktor-faktor temporer dan bukan perbaikan fundamental ekonomi mereka. Pada bulan Februari 2009, pemerintah Jerman menyetujui rencana paket stimulus senilai Euro 50 milyar. Mereka juga menerapkan Program Pembuangan Mobil pada bulan Februari 2009, di mana para pemiliknya akan menerima insentif tunai untuk pembelian mobil baru sehingga dapat memulihkan industri mobil yang sedang sekarat. Program ini dianggap berhasil, dengan peserta mencapai lebih dari 1,7 juta orang Semenjak masa puncak resesi hingga saat ini, penurunan pendapatan Perancis adalah 3,5%. Pemerintah Perancis mengumumkan prakarsa senilai Euro 26 milyar yang didesain untuk merevitalisasi ekonomi. Perancis dan Jerman telah keluar dari resesi karena sektor keuangan hanya sebagian kecil komponen dalam perekonomian mereka. Penurunan total yang cukup telak menimpa Jepang dengan angka 8,4%. Kebijakan stimulus pemerintah yang mencapai USD 260 milyar telah membantu penggelembungan kembali ekonomi. Termasuk dalam paket stimulus tersebut adalah pemberian uang tunai dan subsidi untuk membeli peralatan rumah tangga dan kendaraan yang hemat energi. Jika benar bahwa AS telah keluar dari resesi, maka total penurunan pendapatannya adalah 3,7%. Data PDB tiga perempat tahun 2009 menunjukkan bahwa memang ada kenaikan penjualatan ritel bulanan sebesar 2,2% selama bulan Agustus lalu, yang merupakan kenaikan prosentase terbesar semenjak bulan Januari 2006. Tapi sesungguhnya kenaikan tersebut digerakkan terutama oleh kenaikan 11,6% kenaikan penjualan mobil, yang merupakan dampak langsung dari Program Cash for Clunker (sama seperti Program Pembuangan Mobil di Jerman). Ketika program tersebut selesai, penjualan ritel justru jatuh 1,5% pada bulan September. Paket Stimulus = Menyelesaikan Masalah? Pada puncak krisis ekonomi banyak negara Barat yang mengembangkan paket stimulus dalam rangka menyelamatkan ekonomi mereka dari kejatuhan. Stimulus paling terkenal adalah paket USD 1,2 Trilyun pada tahun 2008. Tapi harus disadari bahwa stimulus adalah semacam minuman penambah energi atau doping yang berdampak sementara. Ia didesain untuk menstarter ekonomi yang mogok, bukan menjadi bahan bakar yang dapat menumbuhkan ekonomi secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pertumbuhan yang saat ini terjadi di beberapa negara sesungguhnya adalah hasil yang diinflasi. Disebut diinflasi karena ia muncul sebagai dampak dari aksi stimulus yang bersifat sementara. Prakarsa pemerintah seperti Program Pembuangan Mobil yang banyak ditemui di negara-negara Barat, pengurangan PPN di Inggris dan pajak pembelian rumah pertama di AS dan Perancis berkontribusi masing-masing sekitar 1% dan 0,5% terhadap porsi total kenaikan PDB yang terkait penjualan kendaraan bermotor dan investasi perumahan. Manakala program-program tersebut berakhir, maka berakhir pula kontribusinya terhadap ekonomi. Terkait ‘berakhirnya’ resesi ini, ekonom dari IHS Global Insight, Brian Bethune berpendapat: “Mendapati perekonomian tumbuh kembali adalah hal baik, tapi kami tidak berpandangna bahwa tingkat pertumbuhan ini dapat berkelanjutan karena ia telah didistorsi oleh segala macam stimulus pemerintah. Tantangannya di sini adalah mendapatkan pertumbuhan organis, pertumbuhan yang tidak dibantu oleh steroid/doping fiskal.” Salah satu bukti dari betapa tidak fundamentalnya pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pengangguran yang masih 9,8% di AS sendiri, atau sekitar 15 juta pengangguran. Saat melihat pertumbuhan dari segi kualitas, banyak sekali faktor-faktor ekonomi yang sesungguhnya temporer dan tidak dikendalikan oleh faktor-faktor yang dipandang sustainable. Dana Saporta, ekonom dari Stone&McCarthy Research di Skillman, New Jersey menguatkan hal ini: “Kebanyakan kekuatan ekonomi AS dibangun oleh faktor-faktor temporer seperti prakarsa stimulus fiskal seperti kredit pembelian rumah tinggal.” Justru pada kenyataannya bantuan yang disediakan pemerintah di seluruh muka bumi menunjukkan pentingnya bantuan pemerintah dalam pemulihan ekonomi tahap awal, yang jika ia dihilangkan maka sangat mungkin ekonomi Barat akan jatuh menuju resesi lagi. Dan ini sepertinya kemungkinan yang akan terjadi, jika tidak boleh dikatakan akhirnya pasti terjadi, karena pemerintah tidak akan mampu terus menerus memberikan paket bantuan stimulus yang mahal. Paket stimulus telah mendorong pertumbuhan yang artifisial/palsu. Sekali saja negara-negara Barat melepaskan dirinya dari upaya bantuan pemulihan ekonomi yang telah mereka sediakan, maka kita perlu melihat kembali apakah pasar bebas benar-benar dapat berfungsi secara mandiri. Dengan semakin dekatnya musim belanja yang datang (Haji, Kurban, Natal, Libur akhir tahun), kuartal akhir tahun ini akan menunjukkan angka yang baik terhadap aktivitas konsumsi yang tidak distimulasi. Namun, dengan tingkat pengangguran yang sedang memuncak, produksi nasional yang masih prematur dan utang yang masih tinggi, tumbuhnya pendapatan pada kuartal akhir ini sangat banyak dipengaruhi oleh aksi stimulus pemerintah, dan oleh karenanya ia sangat mungkin merupakan pertumbuhan yang diinflasi dan tidak berkelanjutan. Simpulan Sementara AS sebagai ekonomi terbesar dunia sepertinya mulai keluar dari resesi, ekonominya tetap bergantung kepada belanja konsumen (tingkat konsumsi). Ini dapat diketahui dari porsinya yang sekitar 70% dari PDB. Sementara ekspor hanya memperoleh porsi 11% dalam konstruksi ekonomi AS. Maka tingkat belanja konsumsi yang berkelanjutan adalah hal yang esensial bagi AS. Sayangnya, saat ini tingkat konsumsi di AS masih belum menunjukkan adanya sinyal perbaikan. Bantuan yang diberikan oleh Dunia Kapitalis tidak akan pernah benar-benar menyentuh permasalahan ekonomi yang mendasar, yakni pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, tingkat konsumsi yang digerakkan oleh utang, sektor keuangan model kasino/judi, dan pertumbuhan ekonomi balon (bubble economies). Yang dapat dilakukan oleh paket-paket stimulus tersebut hanyalah untuk menjaga Ekonomi Kapitalis mengambang meski pengangguran, pengambilalihan aset, dan kebangkrutan tetap ‘meraja-lela.’ Jadi meski secara statistik Ekonomi Kapitalis ‘mungkin’ telah keluar dari resesi, kenyataannya yang membumi sangatlah berbeda. Intervensi a la Sosialisme oleh Pemerintahan Kapitalis telah berhasil menunda sementara kejatuhan ekonomi. Namun, sekali saja seluruh prakarsa temporer tersebut ditarik dari ‘pasar bebas,’ maka pasar sepertinya sangat tidak mungkin bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Oleh karenanya, ekonomi dunia secara riil masihlah sama kondisinya dengan posisi tahun lalu. Sungguh malang. Pada saat mayoritas masyarakat Kapitalis menghadapi prospek pengangguran dan pengambil-alihan aset yang semakin muram, mereka tidak akan mendapatkan kembali sedekah pemerintah untuk memudahkan situasi yang sedang mereka hadapi. Berita akhir-akhir ini mengenai pemberian bonus besar-besaran oleh bank-bank besar dunia kepada pihak manajemen, menunjukkan kepada kita kemana saja sesungguhnya paket bail-out (dana talangan) tersebut disalurkan. Fakta di atas juga menegaskan bahwa sesungguhnya perjanjian yang dibuat di KTT G20 yang lalu hanyalah untuk konsumsi publik (katanya, demi mengembalikan kepercayaan ‘pasar’ terhadap kondisi masa depan). Kenyataannya, hingga saat ini pemerintah negara-negara Barat tidak ada yang membuat aturan /keputusan hukum tentang penghentian pemberian bonus. Memang kondisi ekonomi dunia tidak menjadi semakin buruk, namun pengangguran tetap tinggi, dan tingkat konsumsi masih rendah dalam kaitannya untuk mempertahankan pemulihan ekonomi. Prediksi terbaik atas beberapa ekonomi besar dunia, dalam hal pertumbuhan kuartal akhir ini, adalah pertumbuhan yang prematur. Sementara fundamental ekonomi yang sangat mendasar masih tenggelam dan belum pula muncul ke permukaan. Oleh karenanya, bolehlah kita katakan bahwa pulihnya ekonomi saat ini hanyalah fatamorgana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H