Mendefinisikan Musuh Dengan Jelas
dan Membasminya Sampai Layak untuk Diajak Berunding.< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />
Kegagalan pergerakan yang heroik salah satunya disebabkan ketidakmampuan
mendefinisikan musuh secara jelas. Di era Sejarah Indonesia, hanya ada tiga
jenis musuh yang dapat saya kategorikan pendefinisian musuh yang sangat jelas
dan akurat. Pertama : Pendefinisian penjajah dan imperialisme barat, Kedua :
Pendefinisian PKI sebagai bahaya laten dan yang terakhir : Pendefinisian Era
Reformasi. Namun yang ketiga : pendefinisian era Reormasi sangat lemah
dikarenakan pada waktu itu tidak ada aksi yang jelas dan keras untuk menghukum
para orde baru, yang kemudian membuat para parasit orde baru ini mampu
bermanuver dan akhirnya menemukan kembali susunan kekuatanya dan menjelma
sebagai diri yang menyebut reformis walau pada kenyataanya masih tetap parasit.
Kemudian masuk lah era globalisasi yang menghilangkan batas-batas negara,
sosial, perdagangan dan komunikasi. Banyak perusahaan yang menjadi global,
membuka cabang dimana-mana dan menerapkan code of conduct yang sama dan typical
di setiap cabang negara dia membuka usaha. Tantangan globalisasi ini mampu
membuat ruang gerak para parasit di era orde baru semakin leluasa untuk
menghilangkan jejak dan tanggung jawabnya di Indonesia. Sebut saja : Liom Sio
Liong melarikan diri ke Singapura dan diikuti ratusan orang kaya lainya setelah
mereka ramai-ramai merampok negara di penghujung kejayaan Orde Baru.
Ketika era reformasi itu muncul sebagai pemenang, Abdul Rahman Wahid
berusaha menyatukan opini publik bahwa Soeharto adalah focus era reformasi, dia
Soeharto harus di hukum secara hukum dan diberikan sebagai contoh bahwa
reformasi itu harus mempunyai kenangan untuk di ingat. Namun kenytaanya Soeharto
tidak pernah di vonis sampai akhir hayatnya dan malah Gus Dur (Abdul Rahman
Wahid) secara mengejutkan lengser karena alasan yang tidak jelas.
Bagi pengamant sejarah, hal ini bisa disimpulkan sebagai hilangnya momentum
pergerakan Reformasi. Dan mati nya reformasi itu sendiri. Kemudian Megawati
yang pada akhirnya maju menggantikan Gus
Dur. Yang atas permintan Majelis Permuswaratan Rakyat mencabut mandat terhadap Gus Dur yang
sebenarnya kalau dilihat dari fakta sejarah bahwa dia Gus Dur lebih tepat
dikatakan sebagai korban dari lobi-lobi politik terselubung. Pada saat Megawati
menggantikan Gus Dur, kita harus
menerima kenyataan bahwa Megawati tidak
mempunyai keinginan yang kuat untuk membasmi Parasit Orde Baru dan bahkan tidak
pernah memanggil Soeharto untuk menjalani proses hukum, tidak jelas alasanya namun
di beberapa sesi wawancara dia menyatakan secara tersirat tidak ingin ada
pertumpahan darah, yang berlalu biarkan berlalu. Sifat lemah ini lah yang
kemudian digunakan para parasit orde baru untuk kembali merebut kekuasaan.
Terbukti, pada akhirnya mantan Ajudan Soeharto yang bernama Susilo Bambang
Yudhoyono mampu menjadi presiden berikutnya menggantikan Megawati ( salah satu
tokoh Reformasi) melalui pemilihan langsung oleh Rakyat. Padahal momentum
reformasi belum genap berusia 5 tahun, dan kini dihadapkan pada kenyatan dimana
presiden digantikan oleh seorang mantan jenderal yang notabene penikmat orde
baru. Kenyataan ini semakin memupuskan keberadaan Reformasi dan akhirnya
reformasi itu lenyap karena hal mustahil orang yang non tokoh reformasi akan
menjalankan tujuan reformasi itu secara detail.
Entah apa dibenak Megawati, mungkin dia lupa kenyataan sejarah bahwa musuh
yang berkuasa puluhan tahun bahkan ratusan tahun harus dibasmi sedemikian rupa
sampai mereka layak diajak untuk beruding dalam wadah diplomasi yang beradap.
Dia bahkan tidak mendefinisikan jelas siapa musuh dan kawan, berusaha
menjalankan roda pemerintahan yang sudah reot dan lapuk di sana sini, yang pada
akhirnya dia jujur dan seingat saya dia pernah menyatakan bahwa pemerintahan
yang dia pegang adalah pemerintahan sampah. Walau demikian dia berhasil membuat
catatan sejarah dipemerintahannya yang singkat selama 3 tahun itu. Dia mampu
membayar utang ke IMF, mampu membuat PERTAMINA harus merekrut pekerja secara
terbuka dan bukan KKN, mampu membuat PLN harus merekrut pekerja secara terbuka
dan mampu mendefinisikan demokrasi dan bukan otoriter seperti yang pernah
dilakukan oleh pendahulunya. Namun dia mungkin tidak mau memilih cara keras,
sisi dari keibuan yang menurut saya sampai detik ini adalah misteri.
Banyak pemimpin di dunia ini yang menerapkan cara keras pada saat
pergantian regim. Sebut saja Soeharto, dia harus melarang mantan keturunan PKI
menjadi pegawai negeri untuk beberapa keturunan, bahkam memberikan kode
tersendiri di kartu identitas penduduk terhadap semua keturunan PKI, melakukan
diskriminasi dan pada akhirnya menghilangkan hak sosialnya untuk hidup layak.
Cara ini bukan cara baru, Soeharto pasti membaca buku sejarah dan mengambil
segala semua resikonya, terbukti dia mampu bertahan 32 tahun sebagai Presiden.