Pro dan kontra pembentukan tim transisi oleh kemenpora hingga saat ini masih terus berlanjut. Yang pro mengatakan, tokoh-tokoh di tim ini (transisi) yang berasal dari berbagai macam latat belakang diharapkan mampu membenahi struktur kepengurusan pssi yang carut marut itu. Yang kontra justru berpendapat lain, mereka mengatakan, dengan tim ini pemerintah akan kembali gagal menerapkan aturan sesuai pemahamannya, karena tidak dilandasi pula dengan pemahaman pada aturan-aturan yang berlaku di sepakbola.
Konflik ini diperparah dengan munculnya statemen yang saling bertolak berlatang antara kedua belah pihak yang berseteru. Pemerintah melalui Menpora mengatakan, selama pssi memakai nama Indonesia dan menggunakan fasilitas-fasilitas negara, selama itu pula pssi harus tunduk pada aturan negara. Di pihak lain, La Nyalla (ketum pssi) mengatakan, pssi hanya tunduk pada statuta fifa bukan UUD 1945.
Keduanya tentu memiliki alasan kuat atas argumennya masing-masing. Menpora selaku kepanjangan tangan presiden untuk urusan olahraga, memiliki UU SKN untuk memperkuat argumennya, yang mana UU yang disahkan di tahun 2005 ini memang mengatur Sistem Keolahragaan yang harus dipatuhi, tanpa terkecuali. Sedangkan pssi, masih berpegang teguh pada statuta pssi yang diadopsi dari statuta fifa. Dalam aturan (statuta) yang sudah diikuti oleh semua anggota fifa termasuk negara-negara pemilik hak veto di PBB seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, China dan Rusia, disebutkan bahwa semua federasi anggota fifa harus independen dan terbebas dari intervensi pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah di negaranya masing-masing.
Jika saya harus mengikuti jalan pikiran masing-masing mereka (kemenpora dan pssi), tentu saja saya akan menemukan sebuah titik temu berupa inisiatif untuk membuat sepakbola Indonesia lebih baik lagi.
Namun terdapat sebuah benang kusut yang sulit diurai. Dalam hal ini, saya melihat itu ada di pihak pemerintah. Dari statemen Menpora yang mengatakan, pssi harus tunduk pada aturan negara karena memakai fasilitas negara san menggunakan nama Indonesia seperti yang disebutkan diatas, di situ terlihat bahwa pemerintah terlalu subjektif dan arogan menilai pssi dan sepakbola Indonesia. Padahal jika kemenpora ingin mencari tahu lagi, sejak lama pssi sudah tidak menggunakan fasilitas negara lagi, lebih tepatnya tidak menggunakan fasilitas negara secara percuma. Bahkan sejak rekonsiliasi pssi beberapa tahun lalu, pssi sempat dinilai arogan karena tidak mau menerima kucuran dana dari pemerintah, mereka merasa bisa menghidupi dirinya sendiri melalui sponsor-sponsor pssi. Sedangkan kenapa pssi harus menggunakan nama Indonesia, sepertinya tidak perlu dijawab lagi, sebab tidak mungkin pssi yang adalah federasi yang mewakili Indonesia menggunakan nama Vanuatu.
Oleh karena itu, sepertinya pemerintah memang harus mengkaji ulang upaya untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia ini. Jika memang pssi sudah dibekukan, kenapa masih menuntut agar kompetisi digulirkan, bukankah klub dan kompetisi juga bagian dari pssi. Pemerintah juga jangan terlalu arogan, yang berhak membentuk tim untuk menggelar kongres di masa-masa darurat seperti ini hanyalah fifa, seperti yang mereka lakukan saat membentuk komite normalisasi dulu. Bukan pemerintah, apalagi dilakukan tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan mereka (fifa). Maka, sepertinya memang benar, upaya-upaya kemenpora ini akan kembali gagal total seperti dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H