Libur telah tiba. Libur telah tiba. Hore hore hore!!! Yeeyyy libur panjang sudah menunggu, saatnya untuk liburan. Pasti mahasiswa mahasiswa yang nge-kost akan pulang ke kampung mereka masing-masing, atau mengisi liburan dengan kawan-kawan, dan mungkin pacar (bukan untuk tuna asmara). Atau pergi bersama keluarga ke puncak, atau mendaki gunung bersama kawan-kawan #gaadamaksudnyindirseriusandehbenergabohong. Nah kalau gue sendiri, liburan diisi dengan masih latihan teater. Karena kabarnya, akan ada pementasan lagi loh yang bakal di garap Teater Syahid. Jangan lupa nonton nanti yaa :D
Selama latihan, berarti kata-kata “pulang larut malam” pun hadir kembali di kehidupan sehari-hari. Bedanya dari sebelum-sebelumnya latihan yang udah pernah aku jalanin adalah setiap selesai latihan, aku mengusahakan diri (sok-sokan) pulang ke rumah. Yaps betul banget, kembali ke ciledug.
Tidak hanya rasa capek dan angin malam yang selalu merasuk ke dalam diri, tulang, dan hulu hati, tapi sebuah pelajaran hidup yang ga semua orang bisa lihat dan rasakan. Rute perjalanan pulang yang biasa aku tempuh adalah dari UIN (Ciputat) – rumah (Ciledug) lewat jalur bintaro, tapi salah satu temen aku ngasih tau jalan yang lebih cepet, yaitu lewat jalur tiga rotan.
Mungkin bagi kalian, kata “tiga rotan” sudah ga asing lagi. Yaps betul, tiga rotan adalah tempat pangkalan para “wanita malam” yang sedang menunggu lelaki-lelaki yang akan memberikan kehidupan(uang) untuk menjalani kehidupannya. Secara tak sadarkan, setiap aku melewati jembatan (tempat biasa wanita-wanita itu mangkal) mata ku selalu tertuju pada mereka. Rasa ingin tau yang mendalam tentang kehidupan mereka, rasa ingin tau kenapa mereka memilih jalan itu? Semua pertanyaan-pertanyaan yang belum aku dapat jawabannya ingin sekali aku tanyakan ke mereka.
Saat sedang menunggu, diatara mereka ada yang murung. Mungkin sudah lama menunggu lelaki yang akan bermalam dengan nya namun tak kunjung datang. Ada pulang yang selalu tersenyum diiringi tawa renyah yang keluar dari bibirnya. Aku tak tau, apa senyuman dan tawa itu adalah tipuan untuk menutupi rasa sakit di hatinya dan beban yang di tampungnya? Entahlah. Ada juga yang sedang asik berbincang dengan temannya,ada yang asik telfonan dengan seseorang,ada pula yang melamun, ada dan ada juga yang sedang di tawar dengan seorang lelaki di pinggir jalan itu. Aku melihat secara langsung seperti apa rautan muka mereka di setiap malamku.
Aku melihat sesuatu yang sebelumnya tak pernah aku lihat secara langsung. Diantara mereka adalah wanita hebat. Mereka mampu menahan beban moral hidupnya, mereka berusaha untuk tetap hidup walaupun jalan yang mereka pilih itu bukannya jalan yang benar. Mereka berusaha tersenyum dan tertawa dibalik semua luka, beban fikiran dan rasa takut. Yang aku lihat dari mereka akhir-akhir minggu ini, mereka tak memikirkan dosa, mereka percaya Tuhan Maha Tahu dan Maha Mengerti apa yang mereka kerjakan. Mereka hanya mau hidup. Masih mau melihat bulan yang bersinar terang di setiap malam.
Wow, aku dapat pelajaran dari itu semua. Mereka yang punya beban luar biasa beratnya saja masih bisa tersenyum dan tertawa renyah. Kenapa aku ga bisa? Kenapa aku masih terseret ke dalam kesedihanku? Mereka masih bisa memberi kebahagiaan dan kehangatan untuk lelaki yang bersama dengannya malam itu. Kenapa aku tak bisa membagi kebahagiaan ku ke setiap orang di sekitarku?. Aku malu, aku jauh lebih rapuh dan lemah dibanding wanita-wanita malam itu. Seharusnya aku bisa jauh lebih kuat dari mereka. Terima kasih untuk sentuhan hati yang kalian berikan dan senyuman penuh makna yang kalian tebarkan di setiap malam. Semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H