Setiap anak yang terlahir ke dunia ini, telah dirancang oleh Tuhan dengan segala kemampuan dan kecerdasannya masing-masing, untuk mengisi berbagai bidang kehidupan yang berbeda dan spesifik. Bila saja Tuhan menciptakan semua anak di dunia ini dengan satu kemampuan saja, satu kecerdasan saja dan semuanya sama. Maka, tidak akan pernah ada lampu-lampu jalanan yang benderang, tidak akan pernah tercipta pesawat terbang hingga pesawat tempur yang canggih. Dan yang terpenting tidak akan pernah ada rasa saling mempercayai dan dinamisnya hidup. Tugas kita sebagai orangtua, bukanlah menciptakan anak dengan segala kemampuan yang kompleks, tapi mengambil keputusan dan mengarahkan kemampuan apa, kecerdasan apa, dan potensi unggul apa yang sesungguhnya dimiliki oleh anak sehingga kelak mereka expert di bidang/profesinya dan sukses.
Kecerdasan bukanlah mutlak dalam bidang akademis, seperti kebanyakan dan lama dipahami selama ini. Namun Kecerdasan dalam konteks Multiple Intelligence adalah kemampuan di segala bidang kehidupan, tidak terbatas hanya pada bidang/profesi yang sebagian besar kita kenal selama ini, yakni Dokter, Insinyur, Pilot, Presiden dsb, melainkan jauh lebih luas lagi. Itulah sebabnya mengapa dalam satu keluarga kita memiliki anak yang cendrung berbeda-beda dalam banyak hal, termasuk bidang-bidang yang diminatinya.
Konsep Multiple Intellegence pertama kali diperkenalkan di Amerika pada tahun 90-an oleh Howard Gardner, yang memandang bahwa Kecukupan financial bukanlah tujuan, melainkan efek dari profesi yang tepat dari keahlian terbaik yang dimiliki seorang anak.Siapapun dengan profesi apapun apa bila dia menjadi orang yang terbaik di bidangnya maka secara otomatis akan mendapatkan efek finansial yang sangat baik bagi diri dan profesinya. Jadi konsepsi Multiple Intelligence adalah membantu anak menemukan bidang yang sangat diminatinya serta mendukungnya untuk menjadi yang terbaik pada bidang tersebut.
Oleh karena itu proses penggalian akan dimulai dengan mengetahui bidang-bidang apa yang menjadi minat terbesar anak kita. Memang benar dalam usia dini seorang anak cenderung berpindah dan berganti-ganti minat, namun jika kita sabar dan telaten untuk mencatat dan membimbingnya maka lambat laun akan kita temukan minat yang benar-benar konsisten yang ditunjukan anak kita. Penemuan Minat terbesar ini merupakan titik kunci dan akan kita uji dengan bakat yang dimikinya, artinya apabila anak kita meminati suatu bidang, apakah ia juga cepat sekali menguasai bidang yang diminatinya tersebut. Jika kedua hal tersebut saling melengkapi, maka itulah yang dimaksud sebagai potensi dasar anak yang siap di kembangkan untuk menjadi profesinya kelak. Baru setelah itu orang tua bisa menentukan langkah strategis, jalur pendidikan apakah yang paling cocok ditempuh untuk menjadikan anaknya yang terbaik dibidang tersebut.
Proses pencarian ini akan sangat berbeda antara satu anak dengan lainnya, bisa memakan waktu mulai 1 tahun hingga 12 tahun. Tergantung pada banyaknya Stimulasi yang diberikan orang tuanya. Tapi jika kita sudah menemukannya, maka segeralah kita memutuskan untuk mengambil jalur pendidikan yang tepat.Salah satu contoh konkret di Indonesia adalah Kevin Suherman, putera dari Priyatna Suherman. Pada usia 6 tahun Kevin sudah menunjukkan minatnya yang besar pada bidang seni musik klasik. Dan Priyatna Suherman dengan berani memfasilitasi Kevin untuk hanya fokus mempelajari Musik Klasik dengan Piano. Dalam usia 12 tahun, Kevin sudah menjadi Pianis Cilik Kelas Dunia yang berhasil memegang Rekor Muri, memainkan 30 lagu klasik tanpa partitur. Dan kini Kevin mendapatkan Bea Siswa Penuh dari Pemerintah Australia untuk melanjutkan sekolah Bahasa dan Musik di negeri Kanguru tersebut.
Demikian juga yang terjadi pada Maria Sharapova, petenis puteri dunia. Maria yang pada waktu itu masih berusia 6 tahun dan tinggal di Rusia, tanpa sengaja suatu ketika Martina Navratilova (mantan petenis dunia) berkunjung ke sekolahnya, melihat bakat yang luar biasa pada anak ini ketika ia bersekolah dasar. Kemudian Martina menawarkan orang tuanya untuk di ijinkan membawa Maria Sharapova melanjutkan sekolahnya di sekolah Tenis Bollitary di Amerika Serikat. Singgkat cerita Maria Sharapova bersekolah di AS, dan pada usia 15 tahun Maria Sharapova sudah menjadi juara Tennis Japan Open dan pada usia 17 tahun berhasil menjadi juara Tennis Wimbledon.Ini adalah sebagian kecil dari contoh aplikasi konsep penggalian “Kecerdasan” anak dengan berbasiskan Multiple Intelligence. Mungkin bagi kita para orang tua Indonesia masih terasa asing dengan konsep ini, akan tetapi di belahan dunia lain dan khususnya di negara-negara maju, para orang tua disana mulai mengarahkan masa depan anaknya dengan menggunakan pola dan konsep ini. Dan yang sangat menarik adalah, pada saat saya berbicara pada salah satu sekolah Singapore yang berada di Indonesia, merekapun mengatakan mulai menerapkan konsep Multiple Intelligence dalam sistem pendidikannya.
Lalu, beranikah kita untuk mengambil keputusan dan mengarahkan anak kita pada potensi unggulnya? (#abie)
(kunjungi kami di www.karimaedukasi.tk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H