Sekerat kesunyian di kamarku tak pernah habis. Sudah bertahun-tahun, bahkan sudah tak terhitung aku mengisi ulang galon air mineral, mengganti biji obat nyamuk elektrik, dan pengharum ruangan. Kesunyian seperti batu, tak berkurang, ia diam, kadang keras kepala.
Dalam kesunyian aku melihat semua. Aku melihat bangsaku berjalan penuh kecurangan-kecurangan, tapi tak ada yang mampu menyetopnya. Sebagian orang yang menyelamatkan, kulihat, terlempar ke dalam kamar keterasingannya sendiri. Sebagian yang lain, kulihat, membangun istana-istana kecil kepunyaan masing-masing.
Aku melihat agama(ku) didandani dengan kepentingan-kepentingan. Di bawa ke salon, dibawa jalan-jalan ke mall-mall,di bawa masuk ke partai-partai politik, mereka bilang islam itu universal dan memberi rahmat kepada yang lain. Islam harus mewarnai semua.Oh, betapa mulianya tuan!
Tapi kita melihat keadaan tak berubah. Kita curiga dan bertanya: di zaman yang mengunggulkan wajah, hati terselip dan ditinggal di rumah, sementara wajah agama berjalan dimana-mana, kemana-mana. Wajah agama yang berjalan kemana-mana tanpa hati itu, diganti oleh hatinya siapa? Hatinya para munafik atau para maling?
Kesunyian di kamarku tak pernah habis. Sudah bertahun-tahun, bahkan sudah tak terhitung aku mengisi ulang galon air mineral, mengganti biji obat nyamuk elektrik, dan pengharum ruangan. Apakah kesunyian memang seabadi pertanyaan-pertanyaan?
Jogja, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H